Oleh Fanny S Alam
Sekolah Damai Indonesia Bandung
Kata kekerasan seakan telah menjadi akrab dengan ingatan kita. Kata tersebut telah menjadi tindakan yang menjelma secara nyata dan dialami oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama masyarakat yang dianggap kelas bawah dari strata sosial. Johan Galtung menggarisbawahi kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya.
Soyomukti Nurani menjelaskan kekerasan merupakan tindakan yang dilakukan individu terhadap yang lainnya sehingga berpotensi menyebabkan gangguan fisik dan mental. Penjabaran istilah yang lebih komprehensif dikemukakan Henry Campbell Black (1951) yaitu bahwa kekerasan adalah penggunaan kekuatan yang tidak adil, tidak dibenarkan biasanya disalahgunakan terhadap hak umum serta pelanggaaran terhadap aturan hukum dan kebebasan umum.
Struktur kekerasan yang paling mudah terlihat di Indonesia adalah kekerasan yang berbasis politik identitas, yaitu perilaku diskriminasi dan intoleransi terhadap kelompok agama dan ras atau etnis yang dianggap minoritas hingga orientasi seksual berbeda. Terlebih, jika dikaitkan dengan kondisi jelang pemilu. Maka tak pelak kekerasan dengan struktur tadi menjadi lebih dominan terjadi. Sebut saja kejadian provokasi pihak luar desa yang akhirnya membuat Roni Dwi Nugroho yang akhirnya membuatnya memindahkan makam orang tuanya, Nunuk di Pemakaman Islam Ngaresngidul, Mojekerto yang awalnya justru sudah disepakati boleh. Kutipan dari kumparan juga menyatakan yang dialami oleh Sukma Dewi Nawang Wulan, perwakilan dari penghayat keercayaan wedal urip yang mengeluhkan komitmen Pemerintah Kabupaten Brebes lamban dalam merespon aspirasi dari para penghayat kepercayaan karena hingga saat ini para penghayat kepercayaan masih terkendala terkait pemakaman yang bahkan masih mendapat penolakan dari pihak tertentu. Masih ingat juga hampir setiap tahunnya teman-teman Syiah di Bandung yang ingin merayakan Asyura selalu mengalami penolakan hingga pembubaran walaupun sebenarnya sudah ada aparat kepolisian. Dari periode 2013 hingga 2018 tirto.id melansir terjadi penutupan 5 masjid ahmadiyah dan 32 gereja. Jangan lupakan juga vonis 1, 5 tahun yang didapat oleh Meliana, yang dihukum karena dianggap melakukan penistaan agama karena meminta volume pengeras suara adzan diturunkan, namun kembali merefleksi kasus yang sama di Aceh tahun 2013 ketika seorang warga bernama Sayed Hassan mengajukan tuntutan ke pengadilan Banda Aceh karena merasa terganggu dengan suara rekaman pembacaan Quran yang berlarut-larut dari pengeras suara, ia menghadapi protes keras dari masyarakat. Namun, setelah dia mencabut tuntutannya, justru volume diturunkan dan tidak mendapat sanksi apa pun (S. Alam, Fanny, 2018). Terlebih lagi, jangan tanya bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh teman-teman dengan orientasi seksual berbeda. Masih teringat bahwa dua universitas negeri di padang dan bahkan bandung pernah menerbitkan surat edaran pelarangan pendaftaran ulang mahasiswa baru bagi yang terindikasi terlibat perilaku lgbt (S. Alam, Fanny, 2017)
Apa yang perlu dicermati sebenarnya dari struktur kekerasan yang demikian? Bagaimana sebenarnya kekerasan tersebut bisa bermula?
Spiral Kekerasan Menurut Camara
Ancaman terhadap kemanusiaan yang dicermati pada dasarnya bermula dari sistem pembagian kelas yang justru dimulai dari negara. Kita tentu mengenal kelas negara dunia pertama, kedua, dan ketiga, istilah yang pada akhirnya "diperhalus" menjadi negara maju, berkembang (arah maju), dan ekonomi berkembang (kurang maju) (IMF dan PBB). Ketimpangan yang dialami oleh negara dunia ketiga (negara berkembang, bisa jadi kurang maju) beserta relasinya dengan negara maju terletak dalam masalah ketidakadilan. Ketidakadilan dalam perumusan kebijakan hubungan dagang yang misalnya lebih menguntungkan pihak negara maju serasa pendiktean terselubung. Atau pun, bentuk-bentuk ketidakadilan yang berasal dari sistem pemerintahan yang lebih berpihak kepada kelompok priviledged (hak istimewa) sehingga menggiring masyarakat yang secara ekonomi tidak berdaya kedalam ketidakpastian dan hilang harapan bahkan.
Hal inilah yang ditekankan oleh Dom Helder Camara, seorang tokoh gereja, sekaligus pekerja sosial, dan pejuang perdamaian. Bermula dari seminari hingga keuskupan agung Olinda dan Recife di Brazil, menjadi sekjen sidang kepala-kepala gereja selama 12 tahun dan CELAM, konsili Uskup Amerika Latin, dimana dia menjalani perjuangannya meretas ketidakadilan terhadap masyarakat secara sendirian lewat jalur gereja. Ini dilakukan agar gereja mampu membuka mata atas realita masalah dalam masyarakat dan negerinya serta dapat bertindak sebagai satu kesatuan.
Posisi strategisnya membuat keberpihakan kepada para petani yang rata-rata buta huruf yang diperbudak oleh tuan tanah semakin kuat ditambah komitmen untuk menuntaskan masalah sosial bersama dengan tokoh-tokoh politik kiri sekuler. Dialog dimulai dan berjalan semakin intens.
Pergerakan Camara menjadi lebih dianggap berbahaya sehingga akhirnya Presiden Brazil baru, Jenderal Garrastazu Medici, mengambil alih hak meralat mandat tanpa perwakilan di parlemen tanpa pengadilan serta mencabut hak politik warga negara. Legislasi ini menyebabkan Gereja sebagai otoritas lembaga keagamaan turut disetir kebijakannya oleh pemerintah. Ini terjadi tahun 1970, dimana pemerintah secara struktural melakukan tindak penyiksaan sebagai bagian instrumen kebijakan bagi siapapun yang tertangkap menentang presiden serta kekuasaannya.
Spiral kekerasan yang dicoba retas oleh Camara berasal dari titik ketidakadilan yang berasal dari kelas, bisa kelas relasi antar negara yang menekankan privelese kepada negara maju ketimbang memberlakukan perlakuan setara kepada negara dibawahnya, lalu bagaimana represi dilakukan oleh negara ketika terjadi pertentangan terhadap rezim yang dianggap tidak berpihak kepada warga negara, serta bagaimana legalisasi kekerasan dilakukan oleh institusi keagamaan yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah.
Camara, Kekerasan Kita, dan Resolusi