Serangan bom yang ditenggarai dilakukan oleh kelompok teroris di beberapa gereja dan fasilitas publik dan markas polisi di Surabaya serta beberapa kota di Indonesia beberapa waktu lalu di bulan Mei 2018 menjelang minggu puasa memang mengejutkan masyarakat.
Teror ini juga berimbas dengan korban jiwa dan banyak yang mengalami luka-luka serius. Sementara itu, kondisi ini menyebabkan aparat semakin siaga, terutama di tempat ibadah dan fasilitas publik lainnya, seperti sekolah, taman, serta pusat perbelanjaan.
Para pelaku teror telah diungkap jati dirinya oleh aparat, yang lebih mengejutkan lagi pelaku melibatkan keluarga dengan mengenakan bom bunuh diri. Identitas agama merupakan hal yang paling sering diekspos di berita-berita, terutama karena diidentifikasi juga bahwa salah satu pelaku adalah perempuan bercadar.
Kondisi ini semakin menguatkan asumsi negativitas bahwa teror ini sengaja dilakukan kelompok beragama tertentu untuk mencapai tujuan ideologinya sesuai dengan bentuk kepatuhan terhadap agama dan kepercayaannya. Identitas secara fisik yang terlihat dalam proses identifikasi adalah cadar, dan hal ini sama halnya menguatkan pemikiran yang kembali cenderung negatif tentang perempuan bercadar dan meluas kepada perempuan berjilbab lainnya.
Negativitas terhadap kelompok ini, terutama perempuan bercadar, bukan tidak beralasan. Cadar dapat dikenakan oleh kelompok ekstrimis sebagai bentuk pengaburan identitas,seperti banyak ditemukan di kelompok ISIS, dimana para pria menyamar membawakan bom dalam cadar yang dikenakan.
Di satu sisi, banyak orang yang melihat mereka sebagai kelompok yang ekslusif, sulit untuk berinteraksi dengan masyarakat lainnya, bahkan menganggap mereka bagian dari kelompok agama yang fundamental mengarah ke ekstrimisme. Benarkah mereka pembawa ajaran teror?
Benarkah mereka adalah kelompok yang cenderung melanggengkan radikalisme sehingga mereka bisa sedemikian tanpa rasa bersalah melakukan tindakan melanggar hukum dan menimbulkan korban jiwa baik terluka maupun meninggal. Seberapa lama mereka menanggung stigma dan bagaimana masyarakat secara perlahan dapat mereduksi stigma terhadap mereka.
Tentang Stigma
Stigma muncul karena pandangan orang secara dominan ke kelompok yang lebih rendah atau marginal dianggap benar dan dapat menggiring opini publik secara masif. Bahkan stigma dapat muncul karena ketidaksukaan yang bahkan dapat menggiring ke arah kebencian , yang dapat diungkapkan dalam bentuk ucapan maupun tindakan.
Stigma dapat dimulai dari hal kecil, seperti perkataan mengejek, mengajak yang lain berbuat sama kepada objek, bahkan dalam skala besar stigma ini dilembagakan oleh negara hingga memiliki perangkat undang-undang, aturan, dan aparat relevan untuk mengatasi hal yang dianggap berbeda dan meresahkan. Kita masih ingat pemerintah Indonesia masa orde baru memberlakukan pelarangan terhadap partai komunis Indonesia atau PKI.
Penerbitan TAP MPRS nomor 25 tahun 1966 menjadi tonggak penting pelembagaan stigma terhadap PKI beserta para pendukungnya dan bahkan hal ini dijadikan pembenaran untuk menumpas siapapun yang dituduh terlibat tanpa perlu pengadilan yang objektif. Akhir-akhir ini, banyak stigma yang justru dimulai dari masyarakat sendiri melihat kelompok masyarakat marginal, seperti penderita HIV/AIDS, pelabelan penyakit sosial oleh pemerintah dan masyarakat terhadap kelompok, seperti pengemis, tuna wisma, pekerja seks komersial, bahkan kelompok agama atau kepercayaan yang dianggap tidak sejalan dengan yang sudah ada.