Di sore itu Andika berbicara pada Fathiya, tentang keinginan absurdnya. "Pergilah kau ke Negara Merah, kota kelahiranku!" Kilah Andika. Fathiya yang kala itu sedang meluruskan punggung selepas mencari sesuap nasi tercekat kaget: "Kenapa Abang suruh Dinda Pergi ke Negara Merah?" Tanyanya dengan rasa heran dan ingin tahu. "Karena aku tak ingin bunda, ibu tercintaku kesepian, dia sendiri". Jawab Andika. Mendengar jawaban suaminya, Fathiya berusaha menjawab keinginannya dengan solusi yang menurutnya terbaik, kilahnya: "Kenapa kita tak ajak saja bunda tinggal dengan kita Abang? Saya dengan senang hati menyambut bunda di sini".
Namun serta merta Andika menyanggah tawaran istrinya dengan hardik, "Tidak kah kau tahu Bunda punya banyak teman di Negara Merah, belum lagi teman-temannya mengaji, tetangga, dan handai taulan". Mendadak Fathiya ingin menjerit, berteriak pada langit, namun dengan sekuat tenaga ia tahan semua emosi di dada dan menyumbat lehernya, menelan semua amarah... Mengalirkan kata-kata panas menjadi rangkaian alasan yang masuk akal. "Abang, kita punya kehidupan yang menjanjikan di sini, akar sudah kita tanam di kota emas ini.
Pekerjaan Dinda cukup baik untuk memenuhi kehidupan kita sambil menunggu abang mendapatkan pekerjaan, lalu haruskah Dinda tinggalkan ke kota yang tidak pernah Dinda kenal, kota dimana Dinda tidak tahu dimana harus merebahkan tubuh ketika letih, ke kota dimana Dinda harus kembali mengais-ngais rejeki dari nol?". Ungkap Dinda sambil terus menerus menelan ludah untuk menghilangkan getirnya takdir dengan suaminya. "Haruskah kita korbankan hidup kita yang diprediksi lebih panjang dari bunda, hanya karena Abang tak ingin kehilangan keasyikan Bunda, sementara saya harus merayap, merangkak? Abang tega lakukan itu kepada Dinda"......
Kutipan cerpen: Wanita Naga
Bandung, 10 Februari 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H