MIKOM UPH Bekerjasama dengan Kominfo Selenggarakan Seminar “HATE SPEECH Kenapa Diributkan?”Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) UPH bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), menyelenggarakan seminar bertema “Hate Speech, Kenapa Diributkan?” di kampus Pascasarjana UPH, Plaza Semanggi, tanggal 21 November 2015. Seminar 'Hate Speech Kenapa Diributkan?' di Kampus Pascasarjana UPH
Sejak Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengeluarkan Surat Edaran No. SE/6/X/2015 tanggal 8 Oktober 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech), kontroversi bermunculan. Berbagai kalangan masyarakat mengecam dan menuding Kapolri hendak merampas kebebasan menyatakan pendapat di Indonesia. Pimpinan Komnas HAM bahkan berkilah, “Kita sudah berjuang berdarah-darah 16 tahun lalu, mengantarkan Indonesia ke alam demokrasi seperti sekarang, tetapi 16 tahun kemudian (sekarang), pengekangan ini tiba-tiba muncul,” ungkapnya. Kalangan LSM dan sejumlah media massa, khususnya media sosial, khawatir bahwa SE Kapolri akan mengekang kebebasan berbicara, termasuk kebebasan pers (freedom of the press).
Di pihak lain, tidak sedikit kalangan yang mendukung SE Kapolri. Partai Nasdem, misalnya, secara spontan menyatakan dukungan terhadap SE Kapolri dengan alasan bahwa kebebasan memang harus ada batasannya, tidak bisa tanpa batas. Beberapa tahun lalu Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (Pusat), Drs. Margiono, mengemukakan keprihatinannya terhadap kebebasan menyatakan pendapat di media sosial, seakan-akan di media sosial siapa saja boleh berbicara apa saja. Pada saat itu sebenarnya muncul wacana apakah perlu dibuat kode etik untuk media sosial.
Berangkat dari masalah ini, Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) UPH bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), menyelenggarakan seminar bertema “Hate Speech, Kenapa Diributkan?” di kampus Pascasarjana UPH, Plaza Semanggi, tanggal 21 November 2015. Mengundang beberapa pembicara terkemuka yang ahli di bidang komunikasi politik serta perwakilan dari pihak Kepolisian RI, yaitu Brigjen Pol Drs. Agus Rianto, Karopenmas DivHumas POLRI, Ir. Azhar Hasyim, M.IT., Direktur e-Business, Kementerian Kominfo dan Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si., Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Pascasarjana Universitas Paramadina. Sebagai moderator, hadir Prof. Dr. Tjipta Lesmana, M.A., Ketua Panitia Seminar yang merupakan Ketua Program Studi MIKOM UPH.
Prof. Tjipta sebagai moderator mengawali seminar
Prof. Tjipta mengawali dengan menyampaikan situasi kontoversial yang terjadi saat ini, dimana Kapolri diserang dan dipertanyakan motif dari peluncuran SE ujaran kebencian secara tiba-tiba yang dianggap merenggut hak kebebasan berbicara rakyat. Dalam ilmu komunikasi, menurutnya, kebebasan mengeluarkan pendapat tidak boleh tanpa batas. Bahkan di Negara maju, masalah ujaran kebencian pun diatur dalam berbagai ketentuan perundang-undangan negara tersebut. “Nah, bagaimana di Indonesia? Inilah yang menjadi dasar diskusi kita hari ini, saya berharap peserta sekalian dapat menuangkan pendapat yang berguna mengenai masalah ujaran kebencian di Indonesia,” ungkap Prof. Tjipta.
Brigjen Pol Drs. Agus Rianto sebagai pembicara pertama memaparkan esensi dari SE Kapolri yang sebenarnya. Ia mengungkapkan bahwa penanganan hate speech telah lama didiskusikan dan atas dorongan sejumlah LSM, tahun 2012 telah diadakan seminar hate speech untuk menampung masukan dari sejumlah pakar dan juga masyarakat. Selain itu Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) juga telah melakukan penelitian di empat kota besar di Indonesia yaitu Bandung, Surabaya, Makassar dan Banten, tentang penanganan ujaran kebencian oleh Polri di daerah. Hasil penelitian menunjukan bahwa anggota Polri kurang memahami tentang ujaran kebencian, serta adanya kegamangan anggota Polri dalam menangani masalah ujaran kebencian. Selanjutnya Kompolnas merekomendasikan pada Kapolri untuk membuat suatu produk naskah dinas tentang tata cara penanganan ujaran kebencian, dan setelah dikaji produk yang tepat adalah naskah dalam bentuk surat edaran (bukan dalam bentuk peraturan ataupun keputusan), mengingat sifat dan tujuan SE adalah untuk memberitahukan mengenai tata cara yang berlaku atau ketentuan yang harus dilaksanakan (Perkap No. 15 tahun 2007 tentang naskah dinas di lingkungan Polri).
Brigjen Pol Drs. Agus Rianto
Ia menjelaskan bahwa dalam SE yang termasuk ujaran kebencian antara lain, penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut dan penyebaran berita bohong. Lebih lanjut Brigjen Agus mengatakan bahwa SE Kapolri ini sebenarnya ditujukan untuk internal Polri saja, yaitu untuk distribusi A, B, C, dan D Mabes Polri, bukan untuk masyarakat dan bukan perintah untuk penegakan hukum tetapi mengupayakan pencegahan. “SE adalah pemberitahuan mengenai tata cara yang berlaku atau ketentuan yang harus dilaksanakan. Sehingga SE ini bukan regulasi atau peraturan, jadi tidak memuat norma baru,” ungkapnya tegas.
Menanggapi pemaparan yang diberikan Brigjen Agus, Dr. Gun Gun, dari sudut pandang akademis, menyampaikan bahwa secara umum keputusan Kapolri untuk mengeluarkan SE tentang penanganan Hate Speech ini sangat baik. Menurutnya, SE ini adalah pedoman dan acuan bagi anggota Polri di lapangan ketika terjadi duagaan ujaran kebencian. Namun yang disayangkan Dr. Gun Gun mengenai isi SE ini, dan menjadi penyebab terjadinya kontroversi adalah adanya beberapa hal yang kurang sesuai dan tidak jelas.