Lihat ke Halaman Asli

Fanni Carmila

Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Selamat Terbang Burung Camarku

Diperbarui: 11 November 2023   13:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Priabdi

Camar termasuk salah satu burung unik dari beragam satwa yang ada di muka bumi. Kendati hidup secara berkoloni, namun pada hakekatnya ia adalah burung soliter yang lebih memilih hidup menyendiri.Kendati memiliki bentangan sayap yang lebar dan kokoh, ia bukan tergolong burung yang senang terbang jauh. Lebih memilih beraktivitas di lingkungan sekitar sarang.  

Terjebak dalam rutinitas berputar-putar di alam bebas, sebelum kembali ke haribaan.

Burung yang masih berkerabat dengan dara laut tersebut termasuk hewan karnivor yang memilih membuat sarang di atas tebing. Ia tangguh dan tidak mudah menyerah. Tahan terhadap terpaan angin darat dan laut yang sesekali berubah menjadi badai. Ia tetap bertahan hidup di lingkungan tersebut kendati tahu sebagian dari kelompoknya bakal mati sia-sia terhempas angin hingga membentur dinding.

Dalam hidup aku kenal seseorang yang karakternya menyerupai burung Camar. Dia adalah kakak perempuanku. Ia anak kedua sedangkan aku anak ketiga dari tujuh bersaudara. Selisih usia kami dua tahun.

Rumah kami terletak di sebuah gang kecil jalan Sawangan Purwokerto. Dengan keluasan tak lebih dari 300 meter persegi kami ibarat ikan yang terlempar kedalam Bubu rotan, hidup berhimpitan nyaris tak terpisahkan. Ternyata situasi semacam ini tidak mampu mendekatkan kami secara emosional.

Setiap pagi aku dan kakak berangkat bersama menuju ke SD Kristen yang berjarak sekitar 3 km dari rumah dengan berjalan. Itu adalah langkah pilihan kami guna menghemat ongkos becak yang bisa kami bagi berdua demi menambah uang saku yang terlalu minim. Siangnya aku pulang dengan membonceng kakak sulungku yang dibelikan sepeda oleh ibu. Kakak perempuanku memilih tetap berjalan pulang dibawah teriknya mentari yang berada di puncak langit, sekitar jam satu siang.

Meskipun berangkat bersama, namun kakak yang memiliki langkah kaki panjang dan cepat membiarkanku tertinggal beberapa meter di belakangnya. Aku harus berlari kecil guna menjejerinya. Ia  tidak pernah menggandengku sebagaimana layaknya sikap seorang kakak terhadap adiknya.

Didalam rumah kami juga jarang main bersama. Ia lebih senang merentangkan sepasang kakinya menempel ke dinding. Lalu melambungkan bola bekel dengan taburan biji salak sendirian. Juga ketika bermain lompat tali. Ia menggunakan rangkaian karet gelang sepanjang dua meter yang ditambatkan salah satu ujungnya di gagang pintu. Ujung lain ia pegang sambil melompat mengikuti perputaran tali yang menyapu kakinya. Semua itu dilakukannya sendiri. Tidak pernah melibatkanku.

Aku bisa mengibaratkan dunia kanak-kanak kami terpisah oleh sebuah sekat. Kakak berada di sebuah kapsul kaca tembus pandang yang nampak benderang. Namun sesungguhnya kedap. Sementara aku bersama keenam saudara dan orangtuaku berada di luarnya. Bisa menyaksikan seluruh aktivitasnya, namun tidak pernah bisa memahami kedalaman perasaan maupun emosinya. Akibatnya ia seperti sosok asing didalam keluarga. Termasuk di mata orangtua kami.

Suatu ketika terjadi tragedi didalam rumah kami yang akhirnya mampu mempertautkan perasaan kami berdua. Semua itu dipicu oleh alasan yang sangat sepele.

Sedari kecil kakak punya kebiasaan tidur dan bangun lebih awal ketimbang kami semua. Oleh karena itu ia diberi tugas ibu untuk menjerang air dan menyeduh teh untuk keluarga. Berulang kali ibu menegur kakak agar jangan membubuhkan daun teh terlalu banyak kedalam teko. Demi penghematan. Namun itu tak pernah digubris.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline