Kakekku dilahirkan di sebuah lembah tandus desa Meixien, propinsi Guantung. Tahun 1930 ia menjadi imigran gelap penumpang kapal tongkang yang berangkat dari pelabuhan Kowloon menyusup masuk ke Indonesia melalui pelabuhan Tanjung Priok. Tujuannya meninggalkan kemiskinan desanya yang terlalu sering dilanda bencana alam dan mencari penghidupan lebih baik di Hindia Belanda.
Bersama serombongan pemuda desanya mereka terdampar di Kalibagor untuk bekerja kepada taipan semarga dan berasal dari desa mereka.
Di sana pemerintah Hindia Belanda memiliki perkebunan tebu yang luas dan pabrik gula yang sudah beroperasi semenjak tahun 1839.
Kehidupan masyarakat sekitar kabupaten Banyumas menjadi makmur. Masa panen dan giling tebu itu ditandai oleh perputaran uang besar-besaran yang menyebabkan peningkatan penghasilan para petani tebu, buruh pabrik maupun pendatang yang membanjiri daerah itu untuk berdagang. Siklus ini berlangsung selama bulan Juni dan Juli setiap tahun.
Setelah beberapa tahun magang kakek berhasil memiliki usaha sendiri dengan menyewa sebuah kios di daerah Purwokerto. Iapun pulang ke tanah leluhur untuk mencari istri agar bisa membantu usahanya.
Ayahku lahir tahun 1936. Saat itu kehidupan ekonomi kakek-nenek sudah cukup mapan. Mereka punya toko sembako yang laris.
Beberapa tahun sekali kakek menyempatkan diri pulang ke tanah leluhur guna menyambangi kedua orangtuanya. Tak lupa mengirim sebagian penghasilannya untuk mereka.
Tahun 1958 dalam perjalanan pulangnya ke Indonesia kakek terdampar di Hongkong . Menantikan pemberangkatan kapal ke Semarang yang hanya ada sebulan sekali. Sambil menunggu jadwal kedatangan kapal sekitar seminggu lagi iseng-iseng ia berkunjung ke pusat perjudian di Macau.
Saat sedang asyik mengikuti permainan Rolet seorang gadis belia menghampirinya dengan kotak kayu yang dihubungkan tali ban melingkari lehernya. Isinya rokok dan botol-botol minuman. Cukup berat untuk dibawa mondar-mandir oleh gadis dengan postur tubuh sekecil itu. Suaranya bening dan lantang menawarkan dagangannya.
Sudah beberapa hari kakek mengamati gadis itu mondar-mandir di arena judi. Usianya diperkirakan belum mencapai empat belas tahun. Sementara batas usia seseorang boleh berada di kawasan itu adalah delapan belas tahun ke atas.
Didorong rasa iba dan penasaran kakek mencoba mengetahui asal-usulnya.