Sungguh tidak mudah menceritakan sosok seorang ibu kepadamu.
Setahuku ibuku merupakan wanita yang paling tidak bahagia di dunia. Semenjak lahir dan mulai menyadari kehadirannya aku jarang melihatnya tersenyum. Wajahnya yang cantik bertipe oriental senantiasa diliputi kabut kemuraman. Matanya yang berbentuk bulan sabit dinaungi sepasang alis tebal bagaikan sungai dengan kedalaman airnya yang penuh misteri. Tak bisa ditebak kapan ia akan menumpahkan arus derasnya yang menghanyutkan. Atau menarik korban larut dalam pusaran yang menenggelamkan.
Korban pertamanya adalah ayahku. Ia terjebak dalam ikatan perkawinan yang diatur kedua orangtuanya. Terlilit hingga nyaris sulit napas. Namun tidak punya cukup kemampuan membebaskan diri. Hingga suatu saat ikatan itu terlepas. Tetapi bukannya terbebas, ayah malah tenggelam makin dalam. Lagi-lagi menunjukkan ketidakmampuannya untuk bangkit dan berdiri kembali.
Pada hakekatnya wanita itu telah terlempar ke dunia yang salah. Bagai seekor ikan laut yang dipaksakan hidup di air tawar. Membuatnya gagal menyesuaikan diri.
Ibu berasal dari daratan Cina yang ditinggalinya hingga awal usia remaja. Entah bagaimana tahu-tahu terdampar ke lingkungan yang mayoritas penduduknya berasal dari Suku Jawa. Ibu yang hanya mampu berbahasa Mandarin mengalami kesulitan berkomunikasi dengan para tetangga yang cuma fasih menggunakan bahasa khas Banyumasan dengan aksennya yang meledak-ledak. Tutur kata dan dialek ibu yang "aneh" sulit dimengerti mereka. Akibatnya jadi bahan tertawaan para tetangga. Kulitnya yang putih bersih serta bentuk fisiknya yang kecil mengundang ketertarikan anak-anak kampung untuk merundungi dirinya. Membuatnya sangat tidak nyaman untuk keluar rumah. Terutama ketika harus berbelanja kebutuhan harian. Untuk mengurangi tekanan harus berkomunikasi langsung dengan penjual ia senang mengajakku pergi bersamanya. Aku disuruh mewakilinya menawar barang yang dikehendaki.
Keuangan keluarga kami amat terbatas. Ayah hanya bekerja membantu orangtuanya mengurus toko sembako tak jauh dari rumah kami. Berangkat sekitar jam tujuh pagi. Baru kembali ke rumah sesudah menjelang jam sepuluh malam. Tidak pernah libur, termasuk hari minggu.
Sebagai putra tunggal ayahku begitu patuh dan berbakti terhadap orangtua. Ia tidak pernah mengeluh meskipun gaji yang diberikan kakek begitu minim. Ibu jadi sesak napas tiap kali disodori amplop yang masih dalam keadaan tertutup oleh ayah. Karena tahu isinya tak pernah berubah selama beberapa tahun. Sekedar cukup untuk belanja kebutuhan harian kami berdua serta membayar uang sekolahku saja. Ayah tidak pernah makan di rumah.
Kondisi demikian lama-lama jadi tak tertahankan. Suatu ketika aku melihat ibu murka. Mengibaskan uang bulanan yang baru saja diterimanya ke wajah ayah sambil menjerit histeris.
"Sudah bertahun-tahun kita cuma diberi segini!" Serunya sengit. "Apa kamu tidak bisa protes minta tambahan gaji!"
Ayah hanya menunduk dengan wajah merah padam. Pasrah menampung kemarahan sang istri. Namun tidak punya gagasan bagaimana mencari jalan keluar.
"Dasar laki-laki banci!" Umpatan ibu dibalut kemarahan sekaligus rasa putusasa. Karena ia merasa lelaki yang dinikahinya tidak punya kekuatan, bahkan untuk mencukupi kebutuhan hidup maupun melindungi keluarganya sendiri.
Lelah memprotes tanpa hasil, akhirnya ibu menemukan jalannya sendiri untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Mengawali hari buruk yang harus kujalani tanpa daya.
Suatu ketika ia berkenalan dengan seorang wanita muda yang anaknya sebaya denganku di sekolah. Ia senang sekali mendapati teman barunya yang pindahan dari Pangkalpinang itu ternyata mampu berbicara bahasa Mandarin.
Termasuk menggunakan dialek "Khek", bahasa harian orang Hakka yang berasal dari propinsi Fujian, Cina bagian utara, tempat asal ibuku. Lewat dia ibu bisa berkenalan dengan kelompok "Sosialita" kota kami. Terdiri dari istri para pedagang besar yang tidak punya kesibukan apa-apa. Mereka hidup nyaman didampingi pengasuh anak, juru masak dan pembantu. Waktu senggangnya banyak. Apalagi tunjangan yang diberikan para suami mereka amat berlebihan.