Lihat ke Halaman Asli

Fanni Carmila

Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Tom (3)

Diperbarui: 7 Februari 2022   09:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Saat seseorang jatuh cinta, yang paling berperan dalam benaknya adalah imaginasi. Namun tatkala mengambil keputusan menikah yang menjadi pijakan kita adalah realita.
Aku dan Tom pernah terjebak oleh prinsip semacam ini dalam menjalani hidup. Maka ia pun memilih menikahi gadis yang paling prospektif untuk menunjang masa depan.
Sedang aku? Sebagai seorang perempuan hal paling realistis dalam memilih pasangan hidup adalah menikah dengan lelaki yang sepenuh hati mencintaiku.
Perasaan manusia tidak terbuat dari batu. Ia lembut dan mudah dibentuk. Kupikir rasa cinta pun bisa kita pelajari. Kendati butuh proses dan waktu. Namun setelah berjalan tigapuluh tahun aku akhirnya sadar, sesungguhnya perasaan manusia tidak sesederhana itu. Terutama perasaanku terhadap Tom. Juga perasaan Tom terhadapku.

Setelah Tom pergi aku sering duduk menyendiri di bangku batu halaman Rumah Cinta yang kuncinya masih kusimpan. Karena aku tidak tahu kepada siapa harus mengembalikannya.  Aku sama sekali kehilangan kontak dengan Tom yang kuperhitungkan kini pasti sudah hidup menyatu bersama putri kesayangannya di Melbourne.
Seperginya sepotong demi sepotong kenanganku terhadapnya muncul. Membentuk puzzle yang sulit terpecahkan solusinya.
Kemunculannya yang penuh intrik dan muslihat seperti mencerabut hidupku yang selama puluhan tahun landai dan tenang. Ia membawaku ke masa-masa penuh drama. Dalam alurnya yang simpel Tom berhasil tampil di hadapanku sebagai sosok yang penuh warna. Menyebalkan, membuat geram dan jengkel. Namun ada kalanya menampilkan sisi lain yang romantis dengan ketulusan yang menyayat. Jadi setelah dia pergi aku betul-betul merasa sangat kehilangan dan sangat kesepian.

Suatu pagi sesuatu yang tak terduga muncul. Aku kedatangan seseorang yang kukira calon pembeli lukisan. Namun setelah dicermati aku bagaikan menerima sengatan listrik dengan efek kejut luar biasa. Pemuda tampan berusia sekitar tigapuluh tahun itu amat mirip Tom muda. Aku berdiri mematung.
"Bunda, saya putra pertama Tom," ia langsung memanggilku "bunda". Begitu intim dan menyejukkan. "Nama saya Andreas."
Ia mengulurkan tangan. Mengambil tangan kananku dan menangkupkannya dengan kedua tangannya. Lama memandangiku sebelum menyungging senyum tulus.
"Saya kini paham, mengapa papi sulit melupakan bunda," bisiknya. "Bunda begitu cantik dan lembut."
Aku menggeleng sambil menarik tanganku yang masih digenggamnya.
"Anda terlalu berlebihan nak," sanggahku. "ingat, papimu dulu pernah meninggalkanku demi seorang wanita yang cerdas dan cantik luar biasa."
"Rasanya tidak." Pemuda itu memberi isyarat dengan tangannya, bermaksud menunjukkan sesuatu.
Kulihat ia keluar, menghampiri mobil yang terparkir di halaman. Tak lama ia masuk sambil menenteng tas kulit. Membuka isinya di hadapanku.
"Ada beberapa barang yang dipasrahkan mendiang kepadaku untuk kuserahkan langsung kepada bunda," katanya. Membuat aku bergidik. Beliau meninggal di Singapura sebulan yang lalu."
"Bukannya ia sudah pindah ikut adikmu di Melbourne ?"
Di luar kendali aku meraih lengannya. Mengguncangnya dengan penasaran.
Andreas meregangkan tubuhku. Menatapku dengan pandangan memelas.
"Papi membohongimu," bisiknya dengan kalimat yang tertata, berharap sedikit meredakan guncangan emosiku. "Ia menderita kanker kelenjar getah bening atau limfoma. Ketika terdeteksi sudah masuk stadium empat."
Aku menggeleng dengan pandangan berkunang-kunang. Bagaimana ini bisa terjadi? Ia kelihatan baik-baik saja.
"Kami membawanya ke Mounth Elizabeth Hospital. Namun sudah agak terlambat. Waktu itu Dokter memperhitungkan usianya tidak bisa bertahan lebih dari enam bulan."

Andreas menuturkan, bagaimana sang ayah menyikapi bencana tersebut dengan ketabahan luar biasa. Mengumpulkan ketiga anaknya. Setelah mewariskan kekayaan dan urusan bisnis kepada mereka ia lantas mengungkapkan hal paling pribadi tentang hidupnya yang ia rahasiakan selama ini kepada keluarga.  

Ia membuka tas, memberikan selembar foto kepadaku. Itu adalah foto kami berdua semasa remaja. Diabadikan di permandian Tirto Asri oleh tukang foto amatir dalam  pakaian renang. Tom yang bertelanjang dada melingkarkan tangannya ke pinggangku. Tubuhnya yang atletis menjanjikan kesehatan prima dan semangat anak muda. Aku pernah menyimpan foto yang sama. Namun kubakar tatkala hubungan kami berakhir agar tak menghantui hidupku.
Ternyata Tom masih menyimpannya. Meskipun sudah menguning dan hampir pudar namun aku ingat itu foto yang diambil tatkala kami pertama kali pergi berkencan. Hari itu Tom mengajariku berenang.      
"Mami menjadi depresi tatkala mengetahui papi sering mencuri-curi memandangi foto ini." Andreas berusaha menuturkan trauma dalam keluarganya dengan tabah.
"Semenjak saat itu hubungan papi dan mami memburuk. Mami mulai jadi peminum"

Aku menunduk dengan perasaan pilu. Bagaimana mungkin selama ini secara tidak langsung aku bisa menjadi penyebab runtuhnya kehidupan rumahtangga lelaki yang pernah sangat kucintai itu?
Andreas mengeluarkan benda kenangan lain. Kalung dengan liontin berbentuk hati bertabur permata itu.
"Kalung ini dibeli papi dengan gaji pertamanya sewaktu bekerja. Ia bermaksud memberikannya kepada bunda sebagai ikatan pertunangan. Sayang perjalanan hidup berubah arah. Papi akhirnya menikahi mami."
Kini Tom menyuruh anaknya mewakilinya memberikannya kepadaku. Setelah di hari-hari terakhirnya aku menolaknya.
Pelupuk mataku kembali membasah demi mengingat hari itu. Mengingat sorot mata Tom yang sayu dan kecewa namun tidak diungkapkannya secara jujur. Aku ingat ia memasukkan kotak perhiasan itu ke saku dan berkata "Akan kusimpankan untukmu."

Menurut penuturan Andreas apapun yang terjadi Tom adalah ayah yang sangat baik dan bertanggung jawab. Meskipun tidak berbahagia dalam kehidupan perkawinan namun ia memenuhi kewajibannya sepenuh hati terhadap keluarga. Merawat sang istri dengan tekun dan sabar hingga detik terakhir. Lantas mengambil alih pengasuhan ketiga anaknya seorang diri sambil menjalankan bisnis keluarga.
Ketika tahu usianya bakal tak lama lagi semua anak mendukungnya mencari kekasih masa lalunya. Andreas lah yang membantu melacak keberadaanku dengan mendatangi mas Adi. Mengisahkan kondisi kesehatan sang ayah. Jadi itulah sebabnya kakakku bersedia memberitahu alamatku kepada Tom. Juga memenuhi permintaannya agar merahasiakan penyakitnya kepadaku.
"Kami mensuport papi agar menikmati sisa-sisa hidupnya dengan apa yang paling diinginkannya, yaitu kembali bersama bunda. Meskipun papi sadar bunda sudah berkeluarga."
Selama beberapa bulan ini Andreas menemukan sorot mata ayahnya kembali berbinar. Sebulan sekali di luar pengetahuanku ia menjemput sang ayah. Membawanya ke Singapura untuk melanjutkan therapi penyinaran.
Jadi terjawab sudah mengapa Tom sering tiba-tiba menghilang. Lalu kembali dalam keadaan kuyu. Ternyata itu adalah reaksi dari pengobatan yang menyiksa dan
menyakitkan itu.
Tom berusaha menutupi kondisinya dengan berbagai dalih dan sikapnya yang terkadang menjengkelkan. Aku kini menyesalkan ketidaksensitifanku sehingga tidak mengetahui kondisi fisik dan mentalnya ketika itu.
Aku juga menyesali  kebutaan nuraniku sehingga menutup diri terhadap kebaikan-kebaikannya terhadapku serta berbagai upayanya untuk mendekatkan diri kepadaku.

Andreas menarik napas panjang. Kembali mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
"Ini adalah sertifikat Rumah Cinta yang diwariskan papi kepada bunda."
Dengan tatapan mendesak disorongkannya kepadaku.
"Setelah papi tahu bunda begitu memuja rumah itu dan mengabadikannya dalam sebuah lukisan ia memerintahkan kami melacak pemilik rumah tersebut. Kemudian membelinya untuk bunda."
Aku berdiri bengong. Kehilangan kalimat untuk mengungkapkan ekspresi perasaanku yang kacau. Haru, sedih bercampur marah. Marah terhadap keangkuhanku yang bersikap defensif terhadap Tom yang ingin melampiaskan kesungguhan hatinya terhadapku menjelang akhir hayat.
"Papi ingin bunda menjadikan rumah ini sumber inspirasi melukis. Bukankah lukisan bunda cukup indah? sayalah yang membantu papi memasangnya di kamar pribadinya sebelum beliau pergi. Papi sering memandangi semua karya bunda dengan perasaan rindu."
Andreas melingkarkan tangannya yang kokoh di bahuku yang luruh.
"Aku sungguh iri kepada papi. Ia berani mengejar cinta yang terlepas tanpa bimbang. Lalu membawa perasaan itu pergi bersamanya ke alam abadi."
Sampai di sini pertahananku runtuh. Jatuh ke pelukan Andreas sambil meledakkan tangisku. Menumpahkan kesedihan maupun kekesalanku terhadap Tom. Lelaki yang berhasil menyandera perasaanku hingga akhir hayatnya.

Hari merayap menjadi siang. Aku mengajak tamuku beserta supirnya menyusuri jalan di daerah wisata yang nyaris sepanjang hari tertutup kabut bercampur asap belerang menuju ke pasar.  Kami menikmati Mi ongklok sebagai sarapan sekaligus makan siang. Sesuatu yang sering kulakukan bersama Tom. Andreas menunjukkan kerendahan hatinya menikmati makanan berkuah kental itu hingga habis. Walaupun aku merasa ia kurang menyukainya. Mungkin itu karena ia tidak ingin menyinggung perasaanku.
Pikiranku kembali melayang ke Tom. Jangan-jangan ia juga tidak menyukai masakan mi dibubuhi daging sapi ini. Namun tetap menghabiskannya demi menyenangkanku. Betapa sering ia melakukan apapun demi menyenangkanku. Sementara aku terlalu bebal untuk meminta pendapatnya tentang sesuatu. Setelah dia pergi kurasakan kegetiran rasa kehilangan kesempatan untuk mengubah sikapku terhadapnya. Sambil berjalan kembali ke galeri kuceritakan kepada Andreas hari-hari kami bersama yang berjalan dinamis. Ia nampak sangat terharu mengikuti kisah kami.
Seraya mengemukakan rasa syukurnya karena yakin menjelang akhir hidup papinya sempat mereguk hari-hari penuh kebahagiaan bersama wanita idamannya. Sesuatu yang nyaris tidak sempat dinikmatinya bersama keluarga.
Tom ini mirip seekor kumbang yang terjebak di sebuah taman dengan sayap yang patah. Tak mampu terbang lebih jauh mengisap madu di putik bunga seraya mengejar embun pagi yang menyejukkan.

Di depan galeri Andreas pamit. Ia harus kembali ke Jakarta hari ini juga karena keesokannya akan memimpin rapat bersama dewan komisaris mewakili almarhum ayahnya. Wajahnya memancarkan kelegaan karena berhasil menunaikan seluruh wasiat ayahnya untukku. Ia menghampiriku. Memegang bahuku.
"Bunda, bolehkah aku mewakili papi melakukan sesuatu yang sangat diinginkannya, namun tak kunjung terlaksana?" Tanyanya hati-hati.
Aku mengangguk tanpa ragu.
Andreas menangkupkan kedua tangannya ke wajahku. Lalu mendaratkan ciuman lembut ke bibirku. Aku memejamkan mata sementara titik-titik air jatuh mengalir menyentuh mulut. Menyisakan rasa asin di bibir.
Kureguk linangan air mata untuk Tom ini untuk terakhir kalinya sambil mengamati pemuda itu melambai lalu masuk ke mobilnya.
Udara Dieng yang dingin berkabut terasa menyekap sendu. Aku berdiri mematung menyaksikan mobil Andreas bergerak menjauh. Lenyap dari pandangan tertelan taburan embun bercampur asap yang berasal dari kawah sekitar telaga warna.
Membawaku pada keyakinan, sudah tiba waktuku harus benar-benar melupakan Tom. Aku lelah. Sudah saatnya Kembali ke haribaan suami dan kedua anakku. Keluarga yang telah mengayomiku selama ini. Meneguhkan tekadku untuk selalu mensetiai peranku sebagai istri maupun ibu (fan.c)

                                                                  T  A  M  A  T
                                                   

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline