Lihat ke Halaman Asli

Fani Nurul

Mahasiswa

Perspektif Sosiologi: Kasus Korupsi Dana Bantuan Sosial Penanganan Covid-19

Diperbarui: 29 Oktober 2021   07:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Korupsi tidak lagi menjadi hal yang aneh di Indonesia, bahkan Indonesia merupakan negara yang cukup terkenal dengan budaya korupsi masyarakatnya. Hal ini terbukti dari data lembaga pemantau indeks korupsi global yaitu Transparency Internasional yang merilis laporan 'Global Corruption Barometer-Asia' pada tahun 2020. Hasil survey tersebut menyebutkan bahwa Indonesia masuk menjadi negara nomor tiga paling korup di Asia diikuti dengan posisi pertama India dan posisi kedua Kamboja (Merdeka.com). Data ini menjadi tamparan keras, sekaligus cerminan bagi tata kelola pemerintahan Indonesia yang semakin memburuk.

Korupsi yang ada di Indonesia terjadi pada semua sistem birokrasi pemerintahan, baik sistem legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Sebagai contoh, kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum dari kementerian sosial yang ditetapkan KPK pada 6 Desember 2020 yaitu Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020.

Kasus ini bermula dari adanya program pengadaan bantuan sosial penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial dengan nilai sekitar Rp 5,9 Triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan 2 periode. Dalam pelaksanaannya Juliari diduga menetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui Matheus dan Adi sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang telah ditunjuk oleh beliau. Untuk setiap paket bansos, fee yang disepakati oleh Matheus dan Adi sebesar Rp. 10.000/paket sembako dari nilai Rp. 300.000/paket bansos.

Pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima fee Rp. 12 miliar sehingga total suap yang diterima oleh Juliari sebesar Rp. 8,2 Miliar dan pada periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako terkumpul uang fee sekitar Rp. 8,8 miliar sehingga total suap yang diterima sebesar Rp. 17 miliar. Seluruh uang tersebut diduga digunakan oleh Juliari untuk keperluan pribadinya (CNNIndonesia).

Dalam teori sosiologi kasus ini dapat dikaitkan dengan teori interaksionisme simbolik Erving Goffman yang menyatakan bahwa hukum interaksi sosial ditemukan pada hukum panggung (stage) dimana pada panggung depan individu menunjukkan sebuah sandiwara yang ingin ia bentuk (Anwar, 2019:66). Aktor yang sangat memengaruhi skenario dalam memainkan peran di atas pentas panggung sandiwara adalah elite politik. Mereka melakukan sandiwara di depan publik bahwa mereka adalah perwakilan yang memperjuangkan hak-hak rakyat, tetapi pada kenyataannya tidak demikian.

Dilihat dari fenomena korupsi yang terjadi, korupsi tersebut sebagai perilaku elite politik yang memengaruhi struktur sehingga mereka dengan mudah melakukan tindakan korupsi dan seakan-akan mereka telah memperjuangkan hak-hak rakyat dengan membagikan bantuan sosial sembako padahal realitas dibelakangnya dana tersebut telah dipotong dan 'dikelola' oleh oknum korup untuk kepentingan pribadinya.

Berdasarkan teori fungsionalisme struktural Talcott Parsons (Anwar,2019:73), aktivitas korupsi tersebut menjadi sebuah sistem jika praktiknya menjalankan empat imperatif fungsional bernama AGIL (Adaptation, Goal, Integration, Latency).

Adaptation, korupsi yang dilakukan oleh oknum elite politik menjadi semakin kokoh karena mereka mampu menyesuaikan diri dan mampu memanfaatkan celah sehingga dengan leluasa melakukan tindakan korupsi begitupun pada kasus korupsi bantuan sosial tersebut oknum mampu memanfaatkan celah dari adanya dana program pengadaan bantuan sosial. Goal atau tujuan, praktik korupsi tersebut pasti memiliki tujuan yaitu menumpuk harta kekayaan atau memperkaya oknumnya jelas dengan tujuan demi kepentingan pribadinya.

Integration, dalam konteks ini praktik korupsi berjalan lancar dan mudah karena sudah direncanakan sedemikian rupa dan dipraktikan dengan rapi. Latency atau pemeliharaan, sistem korupsi akan bertambah kokoh ketika praktik korupsi dipelihara dan dipertahankan keberadaannya, hal ini berhubungan dengan tata kelola pemerintahan yang tidak jujur, dalam praktik korupsi bantuan sosial ini terlihat dari struktur tata kelola nya tidak jujur dan dengan adanya pola pemeliharaan membuat korupsi yang dijalani praktiknya rapih sehingga tidak langsung terlihat oleh hukum. Dari teori AGIL tersebut juga merupakan salah satu hal mengapa korupsi di Indonesia masih sangat banyak dan sulit dihilangkan.

Upaya penyelesaian masalah korupsi di Indonesia bukan hanya menjadi tugas KPK saja tetapi masyarakat Indonesia juga memiliki peran penting untuk ikut andil dalam pemberantasan korupsi ini. Untuk menyelesaikan masalah korupsi diperlukan terobosan baru secara menyeluruh dan mendasar untuk memotong akar-akarnya sehingga korupsi tidak muncul lagi, seperti reformasi birokrasi anti-korupsi, perbaikan sistem-sistem yang dapat memicu tindakan korupsi, menghilangkan justifikasi korupsi bahwa artinya tidak ada pembenaran untuk melakukan tindakan korupsi karena korupsi harus dianggap sebagai tindakan kejahatan, hukuman setimpal atas koruptor yang memberikan efek jera untuk kembali melakukan korupsi, serta pengawasan masyarakat terutama pada masyarakat yang bermental instan lebih senang menempuh jalan pintas sebaiknya dihilangkan mental seperti itu karena dapat memicu tindak korupsi. Dari segi pendidikan, generasi muda bangsa tentunya harus diberikan bekal pengetahuan dan moral melalui pendidikan anti-korupsi.

Daftar Pustaka

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline