Lihat ke Halaman Asli

Fanesa Aulia

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Andalas

Mantan Bupati Langkat Divonis Bebas atas Kasus Kerangkeng Manusia: Kegagalan Penegakan Hukum atau Kekeliruan Yudisial?

Diperbarui: 4 Agustus 2024   20:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam perkembangan yang mengejutkan, Pengadilan Negeri Stabat membebaskan mantan Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin, dari tuduhan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang dikenal dengan kasus "kerangkeng manusia". Keputusan ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang menilai putusan ini tidak menghormati rasa keadilan dan dapat memperpanjang praktik kejahatan kemanusiaan serupa. Komnas HAM menyatakan bahwa keputusan tersebut mencerminkan ketidakseriusan dalam menegakkan hak asasi manusia, sementara LPSK mengkhawatirkan bahwa hal ini dapat menciptakan preseden buruk dalam penanganan kasus serupa. Reaksi keras juga datang dari masyarakat yang merasa bahwa putusan ini tidak memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan.


Kasus ini bermula pada awal 2022 ketika aparat keamanan menemukan "kerangkeng manusia" di kediaman Terbit Rencana. Tempat tersebut diduga digunakan untuk menahan orang tanpa prosedur hukum yang jelas, dengan laporan bahwa para tahanan mengalami perlakuan tidak manusiawi. Penemuan ini memicu protes luas dan penyelidikan mendalam yang akhirnya menuntun pada penangkapan Terbit. Jaksa penuntut umum menuntut hukuman 14 tahun penjara atas tuduhan tindak pidana perdagangan orang dan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Meskipun bukti yang diajukan tampak kuat, majelis hakim memutuskan bahwa bukti tersebut tidak cukup untuk membuktikan Terbit bersalah secara sah dan meyakinkan. Keputusan ini memicu respons keras dari masyarakat dan pemerintah. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia, Mahfud MD, menyatakan bahwa vonis ini sangat tragis dan mencerminkan kelemahan dalam sistem peradilan kita. Banyak pihak menganggap keputusan ini tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan tidak memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan serupa.

Menanggapi keputusan ini, Kejaksaan Negeri Langkat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan tersebut. Mereka berpendapat bahwa ada kesalahan dalam pertimbangan hakim yang memutuskan kasus ini. Sementara itu, Komnas HAM menilai bahwa vonis bebas ini tidak menghormati hak-hak korban dan mencederai rasa keadilan publik. LPSK juga mengungkapkan kekhawatiran bahwa putusan ini dapat menjadi preseden buruk bagi penanganan kasus serupa di masa depan. Dari sudut pandang hukum Indonesia, kasus ini menyoroti pentingnya pembaruan dalam sistem peradilan pidana kita. Keputusan bebas terhadap terdakwa dalam kasus yang penuh bukti ini menunjukkan adanya celah dalam proses pembuktian di pengadilan. Hal ini memperlihatkan bahwa sistem hukum kita masih rentan terhadap kekeliruan yudisial dan membutuhkan reformasi mendesak untuk memastikan keadilan ditegakkan dengan benar. Selain itu, kasus ini menunjukkan perlunya pengawasan lebih ketat terhadap praktik-praktik penahanan yang melanggar hukum dan hak asasi manusia.

Masyarakat berharap agar kasasi yang diajukan dapat memberikan keadilan yang lebih baik dan mencegah kejadian serupa di masa mendatang. Kasus ini juga menjadi pengingat bagi penegak hukum untuk selalu mengedepankan keadilan dan kemanusiaan dalam setiap putusan yang diambil. Harapan besar tertuju pada Mahkamah Agung untuk memperbaiki keputusan ini dan memberikan hukuman yang setimpal bagi pelaku kejahatan kemanusiaan. Vonis bebas bagi Terbit Rencana Perangin-angin menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitas sistem peradilan kita dalam menangani kasus besar dan kontroversial. Diperlukan pengawasan lebih ketat dan reformasi hukum komprehensif untuk memastikan keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu. Keadilan tidak hanya tentang apa yang tertulis dalam undang-undang, tetapi juga tentang bagaimana kita menegakkannya di lapangan.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia adalah negara hukum yang harus menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi setiap warganya. Selain itu, Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, serta hak atas rasa aman adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Kasus ini, dengan putusan bebasnya, mengindikasikan pelanggaran terhadap hak-hak tersebut dan menunjukkan kelemahan dalam penegakan hukum yang harus segera dibenahi. Dalam konteks TPPO, Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang jelas-jelas mengatur pemberantasan perdagangan manusia dan perlindungan terhadap korban. Implementasi undang-undang ini harus lebih tegas dan konsisten untuk memastikan tidak ada pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang dibiarkan begitu saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline