Lihat ke Halaman Asli

Ada Domba di Gotong-gotong

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di Jatinangor, Kabupaten Sumedang, ada domba yang tak bisa diam. Kepalanya manggut-manggut digotong oleh empat orang serta diikuti oleh para pengiring yang menari dan memainkan musik. Inilah seni tradisi gotong domba. Pertamakali mendapatkan informasi tentang seni tradisi unik di Jatinangor yang bernama agak janggal di telinga sayagotong dombadari internet. Saya menemukan sebuah tulisan di blog Luthfi Adam. Lalu, saya mengetahui kalau Luthfi itu mahasiswa atau alumnusUnpad. Itu berarti kita pernah kuliah di almamater yang sama. Singkat cerita, kami bertemu di Ngemong Cafe & Library, Jatinangor. Sebuah perpustakaan dan cafe. Saya bertanya cukup banyak soal gotong domba kepadanya. Ternyata dia pernah mendokumentasikan gotong domba. Pada 17 Agustus 2009 ia menayangkan film dokumenter tentang pertunjukan seni gotong domba di tempat lahirnya seni ini: Kampung Kiara Beres. Dia juga kenal dengan seniman-seniman yang konsisten pada seni tradisi ini. Akhir Agustus, saya janji dengan dia untuk ke Kampung Kiara Beres, Desa Cipacing, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Desa di mana seni ini berasal. Dari Pangkalan Damri dengan sepeda motor, kami berangkat ke sana. Desanya cukup jauh di pelosok Jatinangor. Tapi, sentuhan-sentuhan congkaknya pembangunan sudah terasa di sini. Saat melewati sawah-sawah yang masih satu kawasan dengan desa ini, kami melihat plang-plang yang bertulis: tanah ini akan dibangun perumahan. Kami tiba di sebuah rumah sederhana milik Kang Ayeng. Kata Luthfi, Kang Ayeng adalah salah satu seniman gotong domba. Dia pembuat arca domba, media penting seni gotong domba. Waktu itu hari menjelang siang. Pukul 11.00 WIB. Kang Ayeng tak ada di rumah. Dia sedang mencari rumput untuk pakan domba-dombanya yang dikandangkan tepat di halaman rumahnya. Setelah lama menunggu, Kang Ayeng akhirnya pulang. Dan, saya siap-siapa mewawancarainya. Warga Kiara Beres umumnya peternak domba. Baik domba pedaging maupun domba aduan dipelihara mereka. Sawah dan ladang terhampar di sini. Inilah ciri masyarakat agraris. Inspirasi seni gotong domba lahir dari keseharian mereka memelihara dan menggembala domba. Kapan seni gotong domba dipertunjukkan? “Acara Agustusan 2001. Diambil dari segi kehidupan masyarakat Kiara Beres. Bahwa pada waktu itu masyarakat Kiara Beres hampir 70 persen memelihara domba. Lalu timbul bagaimana kalau nanti untuk melengkapi kesenian Agustusan kira-kira harus bikin apa masyarakat Kiara Beres,” kata Kang Ayeng sambil memelintir rokok merek Sejati, dan menghisap nikmat. Media penting seni gotong domba adalah dua pasang arca domba (berwarna hitam dan putih) yang digotong oleh masing-masing empat orang. Gotong domba berbentuk seni helaran atau pawai. Menurut pencipta arca dombanya, Kang Ayeng, gotong domba melewati tiga tahap penciptaan. Saat itu sebelum 17 Agustus 2001, Kang Ayeng diserahi sebuah tugas membuat replika domba. Maka, jadilah bentuk arca domba tahap awal ini. Ketika itu, arca domba terbuat dari bambu yang dianyam. Badannya dilapisi karung goni, dan tidak digotong, tetapi ditarik. Di bawah badan arca domba diberi empat roda. Ada cerita menarik yang membuat masyarakat berpikir untuk menyempurnakan kesenian ini. Saat Agustusan 2001, arca domba rusak oleh seni kuda lumping yang melompat ke arah arca. Untuk itu, mereka berpikir bagaimana kalau arca domba ini digotong, tidak ditarik lagi. Menjelang 17 Agustus 2003, Kang Ayeng menyempurnakan bentuk arca domba, hingga bentuknya seperti yang ada sekarang. Kepalanya terbuat dari tengkorak domba asli yang dilapisi busa. Badannya terbuat dari kayu pohon kemiri yang dilapisi bulu domba asli. Matanya terbuat dari kelereng, dan dibawa dengan cara digotong oleh empat orang. “Bulu domba itu juga dari Australia, bukan dai Kiara Beres. bulu domba australia lebih tebal dibandingkan dengan domba lokal sehingga hasilnya lebih sempurna dan tahan lama,” ujar Luthfi. Seiring dengan penyempurnaan arca domba, beberapa warga menciptakan musik-musik pengiring dan tari-tarian khas untuk gotong domba. Musik pengiring disebut kawihan, yang terdiri dari dog-dog, kendang, gong, simbal. Alat musik tambahan berupa terompet serta diiringi oleh seorang sinden. Menurut Kang Ayeng, saat ini perkumpulan mereka tidak punya pemain terompet dan sinden. Akibatnya, mereka harus menyewa pemain terompet dan sinden jika ada panggilan "manggung" atau acara Agustusan. Selain untuk acara Agustusan, gotong domba juga digunakan dalam acara khitanan. Biaya pertunjukan khitanan dipatok sekitar Rp 1,5 sampai Rp 2 juta. Biaya ini berlaku untuk orang luar yang meminta mereka memeriahkan acara khitanan, sedangkan untuk warga Kiara Beres tidak ada biaya sama sekali. Perkumpulan Gajah Muling adalah perkumpulan gotong domba satu-satunya. "Kenapa gajah, Kang? Ini kan domba, bukan gajah," tanya saya heran. Ternyata filosofinya terletak pada gerakan domba. Gajah muling berarti tidak bisa diam. Artinya, domba selalu manggut-manggut dan bergerak ke kanan dan ke kiri. Kepala arca domba yang digotong selalu manggut-manggut tak bisa diam, mirip kepala kuda dalam kuda renggong. Tarian dan pemain musiknya juga mengikuti gerakan domba tersebut,” jawab Kang Ayeng tersenyum. Sekarang gotong domba memiliki lagu atau mars tersendiri, yang diberi judul sama dengan keseniannya, yaitu "Gotong Domba". Penciptanya Kang Wawa. Ia menciptakan lagu ini sekitar tahun 2006. Menurut budayawan Jatinangor, Pak Supriatna, pada 27 April 2006 gotong domba diresmikan sebagai seni khas Jatinangor oleh Bupati Sumedang Don Murdono bersamaan dengan hari jadi ke-5 Jatinangor dan hari jadi ke-428 Sumedang. Identitas warga Kiara Beres sekarang bukan saja dikenal sebagai masyarakat peternak domba, melainkan dikenal pula dengan seni tradisi gotong dombanya. Kini, pelan-pelan, Kiara Beres terdesak oleh pembangunan wilayah Jatinangor yang mengarah ke bisnis. Saat saya berkunjung ke sana, beberapa sawah dan ladang tempat mencari rumput untuk pakan domba-domba telah terbangun fondasi untuk perumahan. Bisa jadi suatu saat nanti lahan tempat mereka menggantungkan hidup akan sempit, bahkan mungkin hilang sama sekali. Ada hal lain yang lebih penting dari itu, yaitu ciri khas mereka sebagai masyarakat peternak domba akan hilang. Dan mungkin saat lahan-lahan itu sudah habis, akar filosofi seni gotong domba yang lahir dari masyarakat peternak domba ikut hilang. Kang Ayeng sendiri yakin seni gotong domba akan tetap hidup walaupun lahan mencari pakan domba telah tidak ada lagi. Tentunya, keyakinannya itu akan terbukti di masa mendatang. Mampukah kesenian ini bertahan di tengah transformasi sosial Jatinangor? Jatinangor-Jakarta, Agustus 2009. Artikel saya soal gotong domba ini pernah dimuat Kompas Jawa Barat dengan judul “Gotong Domba, Seni Tradisi Kiara Beres” edisi 17 Oktober 2009. Tentu dengan gaya penulisan yang berbeda. http://jejaklangkahkita.blogspot.com/




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline