Pada era orde baru, gerakan buruh sangat direpresi oleh rezim yang berkuasa. Represi tersebut dilakukan melalui beragam peraturan menteri seperti keputusan menteri no. 342 tahun 1986 yang membolehkan pengusaha untuk memberikan sanksi kepada buruh yang melakukan protes dan mogok kerja.
Bahkan, aparat keamanan diizinkan untuk ikut campur dalam penyelesaian urusan buruh jika terjadi pemogokan massal. Buruh pun tidak memiliki kebebasan untuk mendirikan serikat pekerja. Hal ini disebabkan oleh orde baru yang menerapkan single-union system (Habibi, 2013).
Ketika orde baru runtuh, nasib pergerakan kaum buruh pun ikut berubah. Pada era reformasi, Indonesia meratifikasi konvensi ILO no. 87 yang menjamin kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.
Dampak dari diratifikasinya konvensi ILO ini adalah munculnya banyak serikat pekerja. Tidak hanya serikat pekerja, partai buruh pun banyak didirikan (Triyono, 2016). Lantas, apakah kebebasan berserikat dan berorganisasi yang dimiliki kaum buruh berdampak dalam terwakilkannya kepentingan buruh di parlemen?
Di DPR periode 2019-2024, hanya ada satu anggota DPR yang berasal dari golongan buruh. Obon Tabroni merupakan anggota DPR yang berasal dari golongan buruh, lebih tepatnya dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) (Lubabah, 2019). Penyebab minimnya anggota DPR yang berasal dari golongan buruh adalah tidak adanya partai yang secara khusus mewakili golongan buruh.
Pada awal era reformasi, terdapat banyak partai buruh, antara lain adalah Partai Pekerja Indonesia (PPI), Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia (PSPI), Partai Buruh Nasional (PBN), dan Partai Solidaritas Pekerja (PSP). Sayangnya, tidak ada satu pun dari partai buruh tersebut yang berhasil mendapatkan kursi di parlemen (Hadiz, 2002). Penyebab dari gagalnya partai buruh di Indonesia adalah terfragmentasinya gerakan buruh (Triyono, 2016).
Fragmentasi gerakan buruh dapat dilihat dari banyaknya serikat pekerja yang terbentuk pasca era orde baru. Ada beberapa faktor yang menyebabkan fragmentasi gerakan buruh, antara lain adalah dukungan LSM dan pembentukan serikat pekerja berdasarkan sektor industri.
Banyaknya LSM yang berfokus pada perjuangan hak-hak kaum buruh menginisiasi pembentukan serikat pekerja pasca era orde baru. Karena banyaknya LSM, maka banyak pula serikat pekerja yang terbentuk.
Selain itu, serikat pekerja yang dibentuk cenderung berdasarkan sektor industri dimana buruh tersebut bekerja. Contohnya adalah Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) yang berasal dari sektor jasa dan Federasi Organisasi Pekerja Keuangan dan Perbankan Indonesia (FOKUBA) yang berasal dari sektor keuangan (Trnquist, 2007). Tidak adanya partai buruh, minimnya anggota parlemen dari golongan buruh dan terfragmentasinya gerakan buruh akan berpengaruh terhadap keterwakilan kepentingan buruh di parlemen.
Salah satu contoh kasusnya adalah penolakan buruh terhadap PP no. 78 tahun 2015. PP ini mengatur tentang pengupahan. PP ini dianggap merugikan buruh dan sangat menguntungkan pengusaha karena dalam penentuan upah hanya menggunakan variabel inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. PP ini menghapus peran serikat pekerja dalam perundingan penetapan upah (Hardianto, 2018).
Dalam upaya menolak PP no. 78 tahun 2015, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan lobi dan negosiasi dengan DPR. Tujuan dari negosiasi ini adalah supaya DPR membentuk Pansus atau Panja untuk mengkaji dan mengevaluasi PP no. 78 tahun 2015. Tim Panja pun dibentuk oleh DPR dan menghasilkan rekomendasi kepada pemerintah untuk mencabut PP no. 78 tahun 2015 (Hardianto, 2018).