RUU Cipta Kerja, yang termasuk ke dalam Omnibus Law, disahkan oleh DPR di rapat paripurna pada tanggal 5 Oktober 2020. Setelah pengesahan, terjadi penolakan dari masyarakat. Buruh melakukan mogok kerja selama tiga hari sejak tanggal 5 Oktober sampai 8 Oktober 2020. Demonstrasi besar-besaran pun terjadi pada tanggal 8 Oktober 2020 (Amali, 2020).
Penolakan masyarakat muncul akibat RUU Cipta Kerja dinilai merugikan buruh dan memihak pemodal. Selain itu, proses pembuatan ini dinilai cacat dan tergesa-gesa. Bahkan, setelah disahkan, masih ada perubahan dalam draft RUU Cipta Kerja. Terdapat empat versi draft RUU Cipta Kerja yang keluar setelah pengesahan. DPR mengklaim bahwa perubahan yang terjadi merupakan akibat perbedaan format kertas. Nyatanya, terdapat juga perbedaan substansi antara draft yang disahkan DPR dengan draft yang diserahkan ke presiden (Amali, 2020).
Dalam demonstrasi penolakan RUU Cipta Kerja, terjadi banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat polisi. LBH Jakarta menerima 280 aduan tentang kekerasan yang dilakukan oleh aparat polisi (Bernie, 2020). Kekerasan tidak hanya terjadi kepada peserta demonstrasi, tapi juga kepada relawan medis.
Empat relawan medis dari Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) dipukuli oleh aparat kepolisian dan diseret paksa ke mobil polisi (Syambudi, 2020). Jurnalis pun menjadi sasaran kekerasan aparat polisi. Jurnalis yang meliput aksi pengeroyokan polisi terhadap peserta demonstrasi ikut dipukuli dan dipaksa menghapus rekaman pengeroyokan yang dilakukan oleh polisi (Amali, 2020).
Tidak hanya melakukan tindak kekerasan, aparat kepolisian juga menghadang massa yang akan bergerak ke Jakarta untuk melakukan demonstrasi menolak RUU Cipta Kerja. Aparat polisi memblokade titik-titik perbatasan antara Tangerang, Bekasi dan Depok. Kepolisian mengklaim bahwa penghadangan ini bertujuan untuk mengurangi kerumunan massa di tengah kondisi pandemi Covid-19 (DetikNews, 2020).
Aksi kekerasan dan penyekatan massa yang dilakukan oleh aparat kepolisian diduga berasal dari perintah Kapolri melalui surat telegram. Dalam surat telegram bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020, Kapolri memerintahkan jajarannya untuk melakuka operasi intelijen dan pendeteksian dini dalam rangka mencegah terjadinya demonstrasi. Kapolri pun memerintahkan jajarannya untuk tidak memberikan izin demonstrasi.
Bahkan, Kapolri memerintahkan untuk melakukan patroli cyber dan membangun kontra narasi dengan membentuk opini publik untuk mendiskreditkan aksi demonstrasi (Lingkar Kediri, 2020).
Kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian di demonstrasi penolakan RUU Cipta Kerja bukan baru pertama kali terjadi. Pada aksi demonstrasi menolak RUU KPK dan RKUHP di bulan September 2019, polisi juga melakukan tindak kekerasan terhadap peserta demonstrasi. Total terdapat 232 orang korban dari seluruh aksi yang terjadi di berbagai daerah.
Korban kekerasan pun bukan hanya peserta demonstrasi, tapi juga wartawan yang sedang meliput (Bramasta, 2019). Bahkan, YLBHI mencatat ada lima orang yang meninggal dalam demonstrasi menolak RUU KPK dan RKUHP dan dua diantaranya akibat ditembak aparat kepolisian (Wijaya, 2019).
Tindakan kekerasan dan represif yang dilakukan oleh apparat kepolisian dapat mengindikasikan bangkitnya police state. Police state adalah keadaan negara dimana penguasa menggunakan kekuatan polisi untuk merepresi masyarakat. Hak-hak masyarakat dibatasi, termasuk hak untuk berpendapat (Tipton, 2012).
Dalam kasus demonstrasi penolakan RUU Cipta Kerja, kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Padahal, dalam Peraturan Kapolri no. 9 tahun 2008 menjelaskan bahwa polisi harus berlaku manusiawi (tidak boleh menganiaya, menyeret, melecehkan, dan sebagainya). Pelarangan pemberian izin demonstrasi juga merupakan bentuk represi kepolisian terhadap hak berpendapat.