Lihat ke Halaman Asli

Fandy Arrifqi

Mahasiswa

Demokrasi: Dari Siapa, Oleh Siapa, Untuk Siapa? (Part 2: Studi Partai Politik di Indonesia)

Diperbarui: 13 April 2020   12:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demokrasi memiliki dua sistem pemerintahan, langsung dan tidak langsung. Demokrasi langsung adalah sistem demokrasi dimana negara dipimpin langsung oleh masyarakatnya. Sistem ini hanya pernah diterapkan di Yunani kuno yang berpenduduk sedikit. Bagi negara yang berpenduduk banyak seperti Indonesia, sangat tidak mungkin menerapkan sistem demokrasi langsung. Sebagai gantinya, Indonesia menerapkan demokrasi tidak langsung dengan menggunakan perwakilan rakyat. Perwakilan rakyat ini terdiri dari berbagai partai politik yang ada di Indonesia.

Partai politik dianggap dapat mewakili kepentingan masyarakat. Untuk dapat mewakili kepentingan masyarakat, idealnya partai politik harus berasal dari masyarakat banyak. Karena masyarakat terdiri dari kelas-kelas sosial yang memiliki kepentingan berbeda-beda, maka partai pun seharusnya memiliki corak atau ideologi khasnya sesuai kelas masyarakat yang ia wakilkan.  

Realitanya di Indonesia sangatlah berbeda. Partai-partai tidak didirikan oleh masyarakat, tapi hanya oleh segelintir elit. Hal ini disebabkan syarat untuk mendirikan yang sulit. Salah satunya adalah minimal kepengurusan dari 60% provinsi dan 50% kota/kabupaten. Hal ini tentu sulit bagi masyarakat biasa karena membutuhkan modal yang besar untuk mendirikan partai politik. Karena tidak berasal dari masyarakat, tidak ada jaminan bahwa partai politik tersebut akan membawa kepentingan masyarakat.

Walaupun untuk menduduki parlemen dibutuhkan suara masyarakat, tetap tidak ada jaminan bahwa partai politik akan membawa kepentingan masyarakat. hal ini disebabkan pergeseran tipologi partai politik menjadi partai catch-all. Partai catch-all adalah partai yang berfokus untuk mendapatkan suara masyarakat dari berbagai golongan. Hal ini disebabkan keringnya ideologi yang diusung partai. Bisa kita lihat dari ideologi 16 partai politik peserta pemilu 2019 yang hanya terbagi menjadi dua, nasionalisme dan islamisme. Tidak adanya segmentasi kepentingan memaksa partai untuk mengambil suara dari semua golongan masyarakat. Dengan beragamnya kepentingan masyarakat, dan sering bertentangan, maka tidak ada jaminan semua kepentingan masyarakat akan diwakilkan oleh partai politik.

 Partai politik pun sulit untuk mengakomodasi masyarakat yang ingin terjun ke politik. Hal ini disebabkan mahalnya mahar politik yang harus disetor ke partai politik. Artinya, hanya elit yang bisa bergabung dengan partai. Karena modal untuk terjun ke dunia politik yang mahal, maka tentu mereka akan mendahulukan kepentingan mereka terlebih dahulu ketimbang kepentingan masyarakat. Masuk ke dunia politik seakan-akan menjadi sebuah investasi untuk keuntungan diri mereka sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Lenin bahwa negara hanya menjadi alat dari kelas masyarakat yang berkuasa, dalam kasus ini adalah elit politik.

Jauhnya kondisi partai politik di Indonesia dari kata ideal telah menyebabkan gagalnya partai politik dalam mengakomodasi kepentingan masyarakat. Mulai dari partai yang tidak berasal dari masyarakat, partai sebagai alat elit untuk terjun ke dunia politik sampai tipologi partai catch-all yang tidak mengindahkan segmentasi kepentingan dalam masyarakat. Maka, wajar saja jika banyak tuntutan kita yang tidak didengar oleh dewan perwakilan rakyat. Janganlah berharap banyak jika kondisi partai politik di Indonesia masih begini-gini saja.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline