Lihat ke Halaman Asli

Fandy Arrifqi

Mahasiswa

Tajam ke Kiri Tumpul ke Kanan

Diperbarui: 2 Februari 2019   23:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia adalah negara hukum, begitulah yang tertulis di dasar konstitusi kita, UUD 1945. Hal ini berarti segala tindakan yang terjadi di negeri ini harus berdasarkan hukum yang berlaku. Semua orang yang berada di lingkungan NKRI harus mematuhi hukum dan yang tidak mematuhi atau melanggar hukum harus menerima konsekuensinya berupa hukuman seperti yang sudah ditentukan. 

Karena itu, hukum haruslah adil, tidak memandang bulu siapa pelakunya. Tapi, dalam prakteknya di Indonesia, hukum itu tidaklah adil. Ini dapat kita lihat dari adanya pepatah hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Artinya, hukum selalu ditegakkan dengan tegas jika yang melanggar datang dari kelas sosial rendah sedangkan hukum akan berlaku lembek jika yang melanggar datang dari kelas sosial atas. Tapi, ada fenomena ketidakadilan baru yang penulis sebut sebagai tajam ke kiri tumpul ke kanan.

Semua ini bermula ketika penulis beserta rekan-rekan menemukan sebuah stiker menempel di fasilitas umum yang berisi ajakan untuk mendirikan kembali Negara Islam Indonesia. Ini berarti menghidupkan kembali gerakan separatis yang pernah dilancarkan oleh Kartosoewirjo dulu. Ironisnya, stiker itu kami temukan di depan Gedung Pangkostrad. Selama ini, TNI dikenal sangat anti-komunis dengan alasan PKI pernah melancarkan sebuah kudeta yang dianggap mengkhianati negara. 

Dengan sikap anti-komunisnya, TNI dapat melacak dan menyita buku-buku yang dianggap bermuatan kiri jauh dari markas mereka. Tapi, untuk sekedar melacak gerakan DI/TII reborn yang berada tepat di depan markas mereka pun tidak bisa, padahal gerakan DI/TII dan PKI sama-sama pernah mengkhianati negara dengan melancarkan gerakan kudeta. Hal ini menunjukkan bahwa TNI sebagai "penegak hukum" telah bersikap tidak adil, tajam ke kiri tumpul ke kanan.

Begitu pula dengan penindakan hukum kepada mereka yang pernah mencoba untuk mengganti ideologi negara. Baru-baru ini, Abu Bakar Ba'asyir telah selesai menjalani masa hukumannya. Ia diperbolehkan untuk tidak menandatangani surat komitmen untuk setia pada Pancasila dengan alasan Islam dan Pancasila sejalan. Mengapa kita bisa memaafkan seseorang yang sudah jelas-jelas ingin mengganti ideologi negara dan tetap tidak ingin setia pada Pancasila tetapi tidak bisa memaafkan korban-korban genosida '66 yang tidak punya sangkut pautnya dengan usaha kudeta G30s/PKI ?

Begitu pula dengan isu-isu yang berkembang di masyarakat. Kenapa setiap tahun selalu ada isu tentang bangkitnya komunis tetapi jarang, bahkan cenderung tidak ada, isu tentang bangkitnya gerakan DI/TII atau isu tentang bangkitnya gerakan khilafah Indonesia ? Padahal, terakhir kali PKI eksis di Indonesia adalah pada tahun 1966 sebelum dibersihkan secara brutal oleh rezim diktator Soeharto, sedangkan gerakan untuk menjadikan Indonesia menjadi khilafah atau negara Islam bahkan masih berlangsung sampai saat ini. 

Gerakan seperti menolak pemimpin "kafir" atau non-muslim adalah salah satu contoh gerakan yang menghendaki Indonesia menjadi negara Islam atau khilafah. Sudah jelas bahwa dasar konstitusi kita menjamin persamaan hak tanpa melihat suku, agama dan ras untuk menjadi pemimpin di negeri ini. Bahkan, ulama-ulama era kemerdekaan rela menghapus kalimat "dengan menjalankan syariat Islam" dari konstitusi demi menjaga persatuan Indonesia.

Mungkin nasib organisasi yang mendukung berdirinya khilafah telah dibubarkan oleh pemerintah. Tapi, gerakan-gerakan untuk mendukung itu masih banyak. Pemerintah hanya mengatasi permukaannya saja. Tidak seperti menghapus pengaruh ideologi kiri dimana pemerintah benar-benar serius sampai-sampai membuat UU tentang pelarangan penyebaran ideologi kiri, bahkan sampai menyita buku-buku yang diduga "mengandung" unsur kiri.

Entah kenapa kita senang sekali memelihara "hantu-hantu" komunis, padahal yang namanya hantu itu tidak ada. Kita terlalu berfokus pada mistik hantu komunis sampai kita lupa pada musuh kita yang nyata. Musuh nyata yang benar-benar ingin mengganti ideologi negara ini. Maka dari itu, mari kita bersama-sama berhenti melawan "hantu-hantu" ini yang sudah jelas-jelas tidak ada keberadaannya dan bersatu melawan musuh nyata yang ingin memecah belah bangsa dengan mengganti ideologi Pancasila kita. Janganlah kita terlena, sadarlah sebelum terlambat.

             

             

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline