Lihat ke Halaman Asli

Ogoh-ogoh Nyoman Tenaya dan Kepala Bantengku

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13630198051765994960

Membaca detik.com tentang pelarangan arak-arakan ogoh-ogoh mirip Anas Urbaningrum di Bali yang dibuat oleh seniman Bali, Nyoman Tenaya, mengingatkan aku pada sakralnya simbol-simbol politik di masa orde baru dulu. Aku tak akan berbicara yang mendaki. Sebab ini tentang kisah masa kecilku di masa orde baru. Aku kira kejadian itu terjadi sekitar tahun 1994-1995. Aku masih kelas 5 atau 6 SD, barangkali. Setiap akhir pekan sekolahku mengadakan kerja bakti, sehingga pelajaran kebanyakan kosong. Tentu kerja bakti tidak akan seharian. Tetapi kosong pelajaran adalah seharian sabtu itu. Seusai kerja bakti membersihkan halaman sekolah, membakar sampah, menguras kolam ikan, atau mengilapkan kaca-kaca yang banyak itu, kami, para siswa tak menentu mengisi waktu. Kadang kala kami mengisinya dengan bermain mbok-mbret, permainan berkelompok dengan modal bola tenis bekas yang dengan mudah kami dapatkan dari lapangan tenis depan sekolah. Tapi yang paling berkesan bagiku adalah permainan perang gerilya. Jarang sebenarnya ada adegan tembak-tembakan atau perseteruan di sini. Seringnya kami tetap dalam satu kelompok, yang akan berpetualang, keluar dari lingkungan sekolah, di antara rimbunnya tanaman jagung di belakang dan samping sekolah, atau berdiam diri sambil mengobrol di benteng pertahanan kami, lorong jembatan yang terdapat di gerbang sekolah. Kecuali kalau masa hujan, benteng kami kuyup, dan tak ada tempat bebas lagi, karena dimana-mana tanah menjadi lengket. Membuat malas bergerilya. Tetapi, bukannya aku akan bercerita tentang orde baru dan hubungannya dengan ogoh-ogoh Anas? Yah, selepas kerja bakti ketika masa hujan, kami biasanya melepaskan diri dari sepatu dan kaos kaki. Tak mau tanah liat itu akan menempel, sehingga susah dibersihkan dan membuatnya kotor lagi berat. Maka, kami bermain dengan tanah lembek itu. Termasuk aku tentunya. Sangat suka dengan acara berkreasi ini. Aku ingat waktu itu pekerjaan kami adalah merapikan taman yang terdapat di depan papan nama SD. Selesai mempercantikkannya, kemudian aku membuat berbagai bentuk dari tanah liat yang dengan mudah didapatkan di setiap hamparan. Aku begitu terispirasi dengan kepala banteng yang menjadi lambang dari Partai Demokrasi Indonesia, PDI. Bagiku lambang ini begitu gagah, mengalahkan lambang pohon beringinnya Golkar, maupun lambang bintangnya PPP. Bahkan aku sempat menyesal ketika pada waktu sebelumnya, saat aku ditunjuk menjadi ketua regu Pramuka, aku memilih regu Gajah! Kenapa tidak banteng saja kemarin dulu itu yang kupilih ya?! Begitu pikirku saat itu. Aku begitu terobsesi, hingga berusaha mencari bross dari PDI, dan akhirnya aku dapatkan di pasar kota, bross dari mika yang terkombinasi dengan peniti.

Maka, aku buatlah kepala banteng itu dengan gagah tanduknya runcing menjulang. Dan kepala saja, tanpa tubuh. Bukankah inspirasiku adalah lambang PDI? Temanku banyak memuji. Katanya bagus. Aku bangga tentunya. Hingga siang, pada waktunya kami, para siswa, dan guru-guru bisa pulang, aku berniat menaruhnya di taman yang baru saja kami cantikkan. Beberapa guru telah beranjak pulang sambil membawa plastik belanja dan menatapi taman kami. Kemudian aku benar-benar menaruhnya di gundukan taman itu. Kepala banteng yang besar dan gagah. Seingatku belum pernah ada teman-temanku yang membuat karya dari lempung, sebesar kepala bantengku. Semua bergembira. Aku semakin bangga. Hingga ibu guru agama itu melewati taman kami sambil menatapi… Matanya kemudian tertuju pada kepala banteng itu. Tampaknya dia terkaget-kaget. Lalu berteriak, “Hey, itu siapa yang bikin kepala banteng di situ.” Kami semua juga terkaget-kaget. Akhirnya ada juga yang bersuara dan menunjukku sebagai kreatornya. Kemudian ibu itu menyuruhku dengan wajah yang serius dan sedikit marah tampaknya. “Ayo, dihancurkan!” “Ini kepala kerbau kok, Bu.” Ternyata aku sudah pandai berkilah sejak kanak-kanak. “Halah! Tidak mau tahu, pokoknya itu harus dibuang! Bahaya!” Aku diam, tetapi wajahku mungkin seperti sedang bertanya, kenapa bahaya? Kemudian ibu itu kembali berkata, “Ingat kamu. Orangtuamu itu Guru, Pegawai Negeri, bisa bahaya! Ayo buang!” Aku tak mau berdebat lagi. Aku ambil kepala banteng itu, kemudian aku buang di selokan depan sekolah. Sambil menggerutu. Sebab aku membuatnya dengan cinta, membuatnya dengan rasa, menghaluskannya dengan hati, dan memajangnya dengan hati-hati. Karyaku akhirnya terhempas, penyok, dan rusak. Dirusak oleh orde baru. Bantul, 12 Maret 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline