Kita sering mendengar bahwa di tahun 2020 hingga 2045, tepat seratus tahun negara kita merdeka. Akan ada istilah”bonus demografi”, dimana penduduk yang produktif akan lebih banyak dibandingkan penduduk yang sudah tidak produktif lagi. Ini menjadi potensi yang besar bagi Indonesia, dimana saat ini membutuhkan kekuatan para pemuda dan pemudi untuk menjadikan negeri ini sebagai negara maju. Negara kita puluhan tahun kedepan akan bergantung pada manusia-manusia yang produktif. Sebelumnya mari kita tahu bagaimana ada istilah seperti ini
Bonus Demografi yang tadi sudah dijelaskan adalah sebuah perbandingan bahwa penduduk produktif yang berumur 15-64 tahun lebih banyak dibanding yang tidak produktif yang berumur 65 tahun keatas, tapi selain itu, istilan ini adalah sebuah “ledakan”, ledakan dalam arti pertambahan yang sangat cepat. Terlihat dalam Proyeksi Penduduk 2010-2035 oleh Badan Pusat Statistik yang hanya dalam lima tahun saja yaitu pada 2015, penduduk Indonesia bisa bertambah sekitar 18 juta penduduk. Setiap tahun bisa mencapai 4 juta per tahun. Ini adalah sebuah kesempatan untuk mengembangkan sumber daya manusia untuk memajukan negara.
Salah satu unsur dari bonus demografi itu adalah bagaimana kualitas manusianya itu sendiri, terutama dalam hal akses pendidikan yang mereka dapat, baik yang mereka dapat dari sekolah maupun dari lingkungannya.
Masalah besar ada pada aspek itu, pendidikan negeri kita yang kualitasnya masih dibawah negara-negara maju. Skor kita buncit dibanding mereka, minat membaca pun seperti itu, 60 dari 61 negara. Mungkin tidak terlihat buruk karena tidak semua negara, tapi ayolah, dua terakhir, terlihat memalukan. Bagaimana bisa mendapat hasil dari bonus itu, bagaimana bisa kita menciptakan “generasi emas” jikalau ternyata saat muda seperti ini. Dalam kelas, kita masih diajarkan dalam bentuk ceramah, terutama pada masa sekolah. Kemudian muncul pula istilah, bahwa “nilai lebih utama dibanding usaha:, atau “ujung-ujungnya nilai”, ini bisa menghasilkan “koruptor” lebih banyak lagi.
Pun terjadi di lingkungan luar sekolah, lingkungan yang terlihat tidak aman, kemudian ditambah tekanan-tekanan dari luar bisa menyesatkan manusia-manusia yang produktif.
Jika ini terjadi, aku tidak yakin Indonesia akan memetik kebaikan dari “bonus” itu. Kecuali jika kita sendiri sebagai objek SDM pada momen seperti ini bisa merubah diri sendiri dan orang lain, belajar dari negara lain yang bisa mengembangkan SDM nya, meskipun terlihat bahwa SDA mereka juga banyak. Ingat, Indonesia tidak boleh selamanya di “nina-bobo”kan oleh sumber daya alam yang ada. Kita juga sebagai manusia punya kuasa pada SDA itu, dan tergantung kita sendiri bagaimana masa depan negeri ini.
Semoga, pada tahun 2020-2045 yang sudah mencapai 300 juta penduduk kita, benar tercipta “Generasi Emas” demi masa depan Indonesia. Bukan “Generasi Biasa-biasa saja” atau bahkan lebih buruk lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H