Lihat ke Halaman Asli

Tradisi "Memperpanjang" Libur

Diperbarui: 14 Desember 2016   00:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suatu pagi setelah suasana Idul Fitri, manusia berbondong-bondong kembali ke kota, kedalam fase keramaian, fase kesibukan, yang mungkin tidak akan didapat saat berada di kampung, meskipun kampungnya sudah berubah pula jadi kota besar. Para pekerja swasta, buruh, anak sekolahan maupun mahasiswa kembali dari pangkuan keluarga setelah melampiaskan rindu tak jua.

Termasuk aparat negara kita, yang mungkin biasa disebut PNS (Pegawai Negeri Sipil), tak henti-hentinya setiap awal hari setelah lebaran, selalu ada pemberitaan. Sidak sana-sidak sini, tak ayal, kantor dimana PNS bercengkrama masih sepi. Menanti penghuni yang mungkin saja ingin betah di kampung tanpa merasakan harus ada kenyataan yang dipikul di pundak tiap “pegawai” yang kadang terhormat ini.

Inilah yang dimaksud “Memperpanjang Libur”, mereka merasa tiga atau empat hari saja tidak cukup, maka ditambah atau diperpanjanglah hari libur mereka itu. Dengan alasan agar lebih dekat dengan keluarganya, atau mungkin saja harinya nanggung karena hari dimana dia seharusnya kerja berada terapit oleh dua hari libur.

Selain PNS, tradisi ini sudah ada sejak kita berada di sekolah, di hari pertama anak-anak kita bersekolah. Kursi-kursi masih belum terisi dan belum dihangatkan oleh dudukan mereka. Guru kadang menyiasatinya dengan hanya memberikan penjelasan tentang semester yang mereka hadapi, tapi biasanya ini terjadi di semester ganjil karena berada di tahun ajaran baru. Tapi bayangkan terjadi di semester genap, mungkin saja langsung belajar seperti biasa, tidak ada halal-bi-halal seperti di sekolah pada umumnya.

Saat kita kuliah, jangankan pasca libur panjang seperti tahun baru atau saat lebaran. Meskipun libur mereka tergolong panjang, sekitar 1-3 bulan, mereka masih membutuhkan “libur” sepertinya, untuk menjauhkan kejenuhan dari tugas tugas. Biasanya mereka memperpanjang libur antara jumat atau senin tergantung tanggal merahnya dimana. Bedanya dengan anak-anak sekolah tadi, para mahasiswa lebih mudah untuk “memperpanjang libur” meskipun ada kelas, karena ada teknologi “titip absen” tentunya.

Ini lah tradisi yang kita bawa sampai sekarang di dewasa, baik yang PNS maupun hanya karyawan swasta, untuk memperpanjang libur mereka. Pertanyaannya adalah bagaimana bisa mengurangi orang-orang golongan seperti ini? Apakah dimutasi saja ke acara “My Trip My Adventure” biar kerjanya klop, liburan tiap hari, enak kan.

Tapi untuk melakukan liburan seperti itu, tidak semua bisa melakukan juga, banyak hambatan. Termasuk hambatan ekonomi, itulah kenapa para karyawan ataupun PNS tidak ingin terlalu lama, takutnya bisa dimutasi bahkan dipecat malah.

Orang-orang seperti ini harus di-boost untuk bersemangat dalam kerja, namun jangan tekan terlalu sering. Ajar kedisiplinan dari kecil adalah cara yang bisa dilakukan untuk memutus mata rantai ini. Anak akan sadar bahwa jika ia tidak datang meskipun saat itu udah masuk sekolah, anak akan terasa gelisah apa yang akan terjadi pada dirinya, dan mungkin banyak pelajaran yang dilewatinya. Jika itu terjadi, meskipun dia bangun terlambat, dia punya semangat untuk bekerja, bukan malas malasan apalagi bolos-bolosan seperti yang suka “memperpanjang libur”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline