Pada tulisan penulis sebelumnya mengenai peringatan Hardiknas, telah sedikit diulas konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara mengenai Tri Pusat Pendidikan. Konsep tersebut menyebutkan bahwa terdapat tiga wilayah dalam melaksanakan proses pendidikan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Tiga wilayah yang harus berjalan beriringan dalam melakukan proses pendidikan kepada generasi bangsa.
Tulisan ini menyuguhkan telaah sederhana mengenai fenomena pendidikan yang terjadi dalam lingkungan keluarga di Indonesia. Posisi keluarga sebagai pusat pendidikan yang utama, menempatkannya sebagai lingkungan pertama bagi anak untuk mendapatkan pendidikan. Sebuah istilah yang tepat digunakan adalah, keluarga sekolah pertama bagi anak-anak. Menurut Ki hajar Dewantara, keluarga mendapat tempat yang luhur dan istimewa, karena keluarga merupakan lingkungan terkecil dalam masyarakat. Namun demikian, keluarga adalah tempat yang murni dalam dasar-dasar sosialnya. Oleh karenanya, keluarga menjadi satu pusat pendidikan yang mulia.
Jika keluarga menjadi pusat pendidikan, maka orang tua berperan sebagai seorang guru yang mendidik anaknya. Kepribadian, kecerdasan pikiran dan nilai-nilai kemanusiaan menjadi kewajiban orang tua untuk mentransformasikan kepada anaknya. Hak dan kewajiban mendidik anak mengenai sifat, bentuk/metode, dan isi, pada dasarnya berawal dari orang tua. Peran dari seorang ayah dan ibu menjadi hal paling fundamental bagi pembentukan karakter dan pola pikir dasar seorang anak, sebab orang tua merupakan guru pertama bagi anaknya.
Pada proses mendidik anak, orang tua ibarat petani yang merawat benih untuk tumbuh dengan baik. Agar tumbuh menjadi buah yang berkualitas, petani harus melakukan treatment kepada benih tersebut dengan baik pula, seperti membersihkan hama disekitarnya, memberi air, memberi pupuk, serta mengamati pertumbuhan dan perkembangannya. Sama halnya dengan pendidikan kepada anak. Pendidikan awal pada anak merupakan benih yang ditanam oleh orang tua. Berkualitas atau tidaknya pemikiran dan karakter anak, tergantung dari cara orang tua melakukan treatment kepada anak, seperti mendidik dan memperlakukan anak dengan baik selama proses tumbuh kembangnya.
Ketika orang tua telah mendidik anak dengan cara yang berkualitas, maka anak pun akan tumbuh layaknya buah yang berkualitas baik, dengan rasa manis yang mewujud dalam kepribadian dan pola pikir. Hal ini dapat dimaknai bahwa berkualitas atau tidaknya pemikiran dan kepribadian seorang anak yang nantinya akan tumbuh dewasa, sangat bergantung kepada peran "kendali" yang dimiliki orang tua atas semua didikan dan ajaran yang mereka berikan.
Pada dasarnya pendidikan telah berlangsung sejak manusia ada dalam kandungan. Artinya, seorang anak sudah dididik sejak ia dalam rahim ibu. Hal apa yang dilakukan ibu, apa yang dilihat, apa yang didengar, apa yang dilisankan, apa yang dirasakan serta apa yang dimakan dan diminum, itu semua bagian dari mendidik anak ketika masih dalam kandungan. Perihal ini, ibu memiliki peran yang lebih dominan untuk melakukan pendidikan ketimbang ayah. Meski demikian, seorang ayah memiliki peran penting dalam mendukung ibu untuk melakukan proses pendidikan tersebut. Namun setelah anak lahir, pendidikan dari kedua orang tua menjadi kebutuhan dasar bagi seorang anak. Orang tua menjadi kiblat perjalanan dari dalam kandungan sampai tumbuh menjadi dewasa dan berlanjut di kemudian hari.
Akan tetapi, terdapat persoalan yang menjadi batu sandungan terhadap keberhasilan pendidikan seorang anak, yaitu kurang optimalnya keterlibatan kedua orang tua. Mayoritas masyarakat kita, cenderung mengimani bahwa mendidik anak adalah tanggungjawab seorang ibu semata. Ibu diposisikan sebagai penanggungjawab tunggal atas pendidikan seorang anak. Persepsi bias yang dapat memunculkan dampak kurang baik dalam proses pembentukan kepribadian anak, secara masif terus diterapkan di dalam kehidupan masyarakat.
Padahal, menurut Bapak Pendidikan kita, ayah dan ibu merupakan pendidik anak yang paling utama. Sebuah konsep yang berpandangan alami bahwa untuk mendidik anak, terpusat pada ayah dan ibu. Orang tua, ayah ataupun ibu sama-sama memikul tanggungjawab besar atas pendidikan anaknya. Namun realitanya, mayoritas masyarakat kita terjebak pada konstruk berpikir yang kurang tepat. Memposisikan ibu sebagai pendidik bagi anaknya. Sementara disisi lain, menempatkan ayah sebagai orang yang "ditakuti".
Konstruk sosial tersebut telah menciptakan ibu sebagai figur pendidik yang penuh kasih dan perhatian. Sementara ayah diciptakan sebagai figur yang memberikan kesan "takut", yaitu sebagai petugas keamanan dan penghukuman serta juru pukul yang mengerikan bagi anaknya. Alhasil, mindset yang terbangun dalam diri seorang anak termanifestasi pada relasinya dengan ayah dan ibu yang berbeda. Relasi kasih sayang dengan ibu cenderung terwujud sebagai partner, sahabat belajar, teman curhat, dan pemberi solusi.
Sedangkan relasi kasih sayang dengan ayah, cenderung mewujud dalam relasi ketakutan, kaku, sungkan, dan kurang nyaman menjadikan ayah sebagai kawan bicara. Dampak panjangnya akan memunculkan jarak yang lebar dalam relasi keduanya. Fenomena tersebut sesungguhnya merugikan ayah dan anak itu sendiri. Sebab, sesungguhnya ayah memiliki potensi yang luar biasa dalam mendidik anaknya. Pun demikian, tidak ada istilah ketika anak hanya di didik oleh ibu, maka ia akan menjadi manusia yang lebih baik. Justru ketika anak mendapatkan didikan yang baik dari kedua orang tuanya, maka ia akan menjadi manusia yang baik pula.
Peran seorang ayah tidak sempit hanya sebagai orang yang ditakuti oleh anaknya. Ayah juga harus intim menjalani relasi kasih sayang yang benar-benar terbentuk bukan atas dasar ketakutan. Oleh karena itu, kita tidak bisa menegasikan dan mendiskreditkan potensi serta peran seorang ayah dalam mendidik anak. Seorang ayah harus dioptimalkan peran dan potensinya agar anak memperoleh pendidikan yang ideal dari kedua orang tuanya.