Lihat ke Halaman Asli

Kemponan darah Enau

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Beberapa malam di Putusibau

Beberapa hari yang lalu saya pulang lewat pemakaman,di Pemakaman itulah si_Jula dikubur,sang Seniman tidur tak bermimpi lagi. Jula memang bertangan tinta,Ia senang menulis sampai-sampai di pohon kayupun ia menulis.Suatu hari Jula dilaporkan ke Kepolisian oleh Mat Selentet kerna puisi Jula membunuh tiga batang pohon karet milik Mat selentet akibatnya tujuh hari tujuh malam Jula dalam kerangkeng,bukan main murka Mat Selentet sehingga seperti itulah kejadiannya.

Setahuku Jula tidak berontak ketika Polisi mengikat tangannya dengan besi sebab mulutnyapun diciptakan untuk berpuisi,dia berkata "Kemponan Darah Enau.."

Diputaran rode manekah sang puisi hidup?
Kalau bukan disisi-sisi lelap sampai ke nak mati
Di tempat itulah pujangge mencoret kanvas
Bercakap-cakap bertemu bias
Atau dalam jeruji besi yang begitu keras

Satu bait sempat aku catat,sayang benar-benar sayang aku tak sempat menanyakan apa daripada maksud "kemponan Darah Enau"???

Mat Selentet memang Petani yang berhasil,anak buahnya berpuluh-puluh orang jumlahnya,Mat Selentet kesanakemari berbekal laptop dan Kamera Sonny, berteman akrab pula dengan beberapa orang LSM dan Petinggi-Petinggi kota,Eman dengan Bujang Langkau paling tak suka dengan tebiat Mat Selentet konon Mat selentet senang meludah kalau lewat di depan orang,Sombong.

Pernah sebelum Jula tamat aku kerumahnya ngobrol sambil minum kopi ia sempat berkata mengajariku cara menikmati kopi yaitu “sebelum meminumnye engkau haruslah terlebih dahulu menghirup aromanye”.
Malam itu langit banyak sekali bintang dan awan tak mampu membendung sinar bulan,tampaklah mega seperti karangan tangan,ia mengambil secarik kertas dicoret hapus kalimat sayang dan aku hanya diam..

(malam yang penuh murke)

Dari merambah dimuke bumi
Bertemu aku peluk biduri
Apatah lagi halimun datang menaung bumi
Ia kupeluk tak henti

Kini terjage derite
Entah tak tau berape lame
Malampon menjadi murke
Terkoyaklah rase di dade
Aku murke !

Baru sampai di situ ia menulis.Maaf, cicakpun BAB jatuh disisi kertas sebelah kanan dekat sekali dengan tangannya, menerawanglah mata Jula ke atas,marah mencari cicak,berputar kepalanya,aku melongok dan memikirkan apakah yang terjadi? apakah Jula mencari hurup yang melayang-layang untuk di jadikannya kalimat? yang ku ketahui : kotoran cicak di coletnya di jadikannya pengganti titik tanda seru pada dua kata “Aku murke !”.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline