[caption caption="sumber: http://detik.com"]
[/caption]Kasus kematian Siyono, seorang terduga teroris oleh densus 88 kembali menghangat. Keluarga Siyono, beberapa hari yang lalu melaporkan kepada PP Muhammadiyah Yogyakarta untuk meminta bantuan hukum terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang densus yang menyebabkan kematian Siyono. Istri Siyono mengaku mendapat dua gepok uang dari seorang yang mengaku bernama Ayu.
Menurut saya, ada beberapa kenaehan dalam kasus ini.
Pertama, Siyono meninggal saat diperiksa oleh Densus 88. Padahal, status dia masih "terduga", belum tersangka apalagi terdakwa. Seharusnya, perlakuan terhadap seorang terduga tidak boleh semena-mena. Belum ada proses pengadilan sekalipun terhadapnya. Bukankah ada asas praduga tak bersalah terhadap seseorang yang akan diperiksa? Sekalipun ia bersalah, tidak pantas rasanya jika dilawan hingga berujung kematian.
Kedua, jika pihak densus berargumen beliau menyerang atau melawan petugas, apakah mungkin? karena dalam penangkapan densus, kaki dan tangan korban diikat, mata pun dilakban hitam. Kemungkinan perlawanan akan sangat kecil. Sekalipun melawan, bukankah tidak mungkin melawan dengan senjata karena berada dalam pengawasan aparat? Selain itu, akan sangat mudah bagi aparat untuk mengontrol perlawanannya karena ia hanya seorang diri.
Ketiga, setelah kematiannya yang dirasa janggal, keluarga merasa diteror untuk tidak mengangkat perkara. Belum lagi, istri beliau diberikan dua gepok uang. Anehnya lagi, polri mengakui pemberian uang tersebut. Dan yang paling mengherankan adalah, sumber dana dan tujuan pemberian uang tersebut tidak dijelaskan dengan baik. Akhirnya, menimbulkan kecurigaan bahwa uang itu digunakan untuk membungkam keluarganya.
Keempat, yang sangat disesalkan adalah, kematian Siyono menimbulkan kedukaan yang besar bagi keluarga, apalagi pada anaknya yang masih balita yang mengalami trauma. Dampak psikologis yang dialami seorang anak akan sangat membekas hingga ia dewasa. Bukankah sebaiknya dipulihkan kembali nama baik keluarga tersebut? karena suaminya meninggal oleh aparat sebelum dilakukan upaya hukum. Kalaupun hendak diberikan santunan, mengapa tidak diberikan secara resmi dan legal?
Kelima, ini mungkin sudah kesekian kalinya teduga teroris dibunuh. Padahal, jika ingin menyelidiki lebih lanjut jaringan teroris, jika memang yang ditangkap merupakan anggota jaringan teroris tersebut, harusnya ia bisa diinterogasi dan dimintai keterangan mengenai jaringannya. Kalau justru ditembak mati, bukankah justru memutus kesempatan itu?
Keenam, di beberapa berita yang mengulas kejadian ini, ada sebagian yang berkomentar justru seperti membiarkan hal ini demi pemberantasan terorisme. Padahal, jika hal ini terus dibiarkan, akan menjadi legitimasi agi aparat untuk melanggar hukum dan hak asasi demi pemberantasan terorisme. Kecuali, jika memang sudah dibuktikan dengan proses pengadilan oleh hakim secara hukum, bukan oleh petugas polisi atau densus.
Sudah sepatutnya kasus ini menjadi evaluasi bagi Polri dan Densus 88. Jika hal ini masih berlanjut, bukan tidak mungkin menjadi bumerang bagi kepolisian. Masyarakat merasa terintimidasi, yang pada akhirnya menjadi bom waktu yang akan menimbulkan teroris dari orang-orang yang merasa terteror oleh ketidakadilan dari aparat pemerintahan. Masyarakat pun jangan mudah menjustifikasi seseorang sebagai teroris dari penampilan luarnya saja, karena selama ini ada beberapa ciri yang masyarakat selalu kaitkan sebagai ciri teroris, meskipun tidak semua teroris bercirikan seperti itu. Akhirnya, membuat orang yang bukan teroris pun menjadi terintimidasi seolah-olah teroris.
Evaluasi lagi cara penindakan terhadap para terduga teroris. Asas praduga tak bersalah juga perlu diperhatikan agar tidak sembarangan menghakimi seseorang. Prosedur penanganan perlu diterapkan secara benar, agar tidak terjadi dugaan yang tidak perlu dari masyarakat.