Lihat ke Halaman Asli

Pemimpi

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pemimpi

"Hafidz ingin jadi penulis, Pak," kataku mantap saat makan malam.

"Penulis? Kamu ingin jadi seorang penulis?" tanya Bapak seolah tak percaya dengan yang didengar. "Apa yang kamu harapkan dari seorang penulis?"

"Jika penerbit mencetak hasil karya saya, saya akan dikenang melalui karya itu, Pak. Nama saya akan tetap hidup, abadi sampai kapanpun!" jelasku berapi-api.

"Jika? Lalu bagaimana dengan 'jika' yang satunya?" Matanya tajam menusuk batinku, seolah ingin menegaskan kata ‘jika’ yang diucapkan. "Bagaimana jika mereka tidak mau menerbitkan tulisanmu?" Aku terdiam. Jujur, pertanyaan itu tak pernah sedikitpun terlintas di benakku. Aku melirik Ibu.

Seperti memahamiku, akhirnya Ibu ikut bersuara. "Sudahlah, Pak, biarkan Hafidz menjadi seperti apa yang dia inginkan. Biarkan-"

"Tapi penulis itu bukan pekerjaan, Bu! Mau dikasih makan apa nanti anak istrinya?" Bapak memotong kalimat Ibu. Tatapannya beralih ke arah Ibu.

"Tapi Hafidz ingin berkarya, Pak. Bukan bekerja! Sampai kapan kita harus hidup seperti ini terus?" Aku tak mau kalah.

Tatapan itu kembali padaku, masih dengan sorot yang sama.

"Bapak beritahu kamu sesuatu, menulis itu butuh ilmu yang cukup. Sedangkan kamu? Ilmu apa yang kamu punya? Sekolah pun kamu tidak lulus!"

"Bapak terlalu meremehkan Hafidz, Pak!" Suara Ibu bergetar.

"Ah, sudahlah! Bapak tidak mau komentar lagi! Habiskan makananmu," katanya padaku, "banyak pekerjaan yang harus kita selesaikan besok!" Bapak menyuapkan nasi ke mulutnya. Aku mengikuti. Nasi dan sayur jengkol serta tempe goreng kesukaanku terasa hambar.

Kata-kata bapak terngiang di telingaku. Meracuni pikiran, dan membangkitkan kemarahan. Bagaimana bisa orangtua yang aku hormati, yang seharusnya menjadi sahabat bagi anak-anaknya, malah meremehkan cita-cita si anak hanya karena cita-cita itu tidak sesuai dengan keinginan si orangtua?

Ah, aku menyesal dulu tidak pernah memaksa Bapak untuk mau membiayaiku melanjutkan sekolah. Padahal hanya tersisa kurang dari dua tahun lagi, aku bisa mendapatkan ijazah SMA. Dan lagi, aku anak satu-satunya.

Alasan klise! Masalah biaya. Bapak tak mampu lagi membiayai sekolahku, karena saat itu, Bapak baru saja di-PHK dari sebuah perusahaan di ibukota. Pekerjaan sebagai tukang batu yang menjadi keahlian sampingan pun sedang sepi. Krisis moneter telah lama berlalu, tapi tetap saja orang-orang seperti keluargaku masih jauh menuju kehidupan sejahtera. Seandainya dulu aku melanjutkan sekolah, mungkin saat ini aku sedang kuliah semester empat fakultas sastra di salah satu perguruan tinggi. Atau bekerja di sebuah perusahaan dengan upah yang cukup untuk membiayai kuliahku sendiri. Atau paling tidak, aku bisa memperbaiki keadaan ekonomi keluarga tanpa perlu bersusah payah membantu Bapak, membangun rumah orang-orang yang memerlukan tenaga dan keahliannya. Beginilah jika orang miskin sepertiku memiliki impian dan cita-cita, kehidupan akan kacau!

Kami menghabiskan makan malam dalam diam. Ada sesuatu, yang aku tak tahu itu apa, yang membatasi keberadaan kami di meja kecil ini. Sesuatu yang membuat kami merasa jauh dan asing satu sama lain.

Selepas makan, aku langsung menuju kamar yang tak jauh dari tempat makan. Tidak lama kemudian, suara Ibu dan Bapak sesekali terdengar, bercampur dengan sayup-sayup suara televisi yang sedang menyiarkan sinetron di ruang keluarga.

"Sepertinya Bapak terlalu keras sama Hafidz, Pak...."

"Terlalu keras? Orang-orang seperti kita ini hanya bisa bertahan hidup dengan bekerja, Bu! Tidak ada orang yang mau memberi keluarga kita makan jika bukan kita sendiri yang bekerja!" Suara Bapak terdengar jelas menembus dinding kamarku. "Dan menulis bukanlah pekerjaan, itu cuma hobi!" tambahnya.

"Tapi Bapak pernah bangga juga dengan hobi Hafidz itu, kan?" Hening. Tak ada kata yang keluar dari mulut Bapak.

Di dalam kamar, aku masih menikmati kekesalanku pada Bapak. Aku ingat, puisiku pernah dibacakan di depan para petinggi kampung di acara 17-an. Bahkan aku pernah menulis skenario untuk sebuah drama pementasan di acara yang sama pada tahun berbeda. Berbagai pujian datang bertubi-tubi padaku, baik dari teman ataupun dari para tetua kampung. Bahkan Bapak dan Ibu sempat kecipratan pujian karena hasil karyaku. Saat itu, aku adalah orang yang paling bahagia.

"Lebih baik Ibu bikinkan Bapak kopi, sekarang," suara Bapak terdengar lirih. Aku kembali dengan pikiranku.

~0O0~

Tok! Tok! Tok! Suara pintu membuyarkan lamunanku.

"Hafidz... kamu sudah tidur?" Kepala Ibu menyembul dari balik pintu kamar. Aku menoleh sekilas, lalu memalingkan muka ke arah lain.

"Hafidz... Bapak itu sebenarnya sayang sama kamu... dia cuma ingin yang terbaik buat kamu...." Ibu duduk di sampingku, tangannya menyentuh pundakku.

"Sayang? Seperti ini yang namanya sayang?" tanyaku dengan sisa kemarahan. "Lagipula, tahu apa Bapak tentang apa yang terbaik buat Hafidz? Bapak cuma tahu apa yang terbaik buat dirinya sendiri!"

Senyum tulus tersungging dari bibir Ibu. "Bukan begitu, Nak ...."

"Tapi apa salahnya menjadi seorang penulis, Bu?" tanyaku membela diri.

"Tidak ada yang salah dengan itu, Anakku... tidak ada yang salah. Ibu percaya kamu bisa! Yang terpenting adalah apa yang kamu yakini dari dirimu sendiri."

Aku menatap wajah Ibu yang mulai keriput. Senyum tulusnya masih ada di situ. Mata teduh dan kelembutan sikapnya selalu bisa meredam amarahku. Kasih sayang seorang ibu adalah hal yang bisa meredam keinginan kuat seorang ayah.Dan Ibu selalu bisa melakukannya.

“Kemarilah, Ibu ceritakan kamu sesuatu.” Tangannya mengelus kepalaku. Tatapan Ibu menerawang dan mulai bercerita tentang kehidupan masa-masa remajanya saat di sekolah dulu. “Kamu tahu? Bapak selalu saja menyisipkan puisi pada setiap surat yang dikirimkannya ke Ibu. Saat itu, ibu merasa menjadi perempuan paling beruntung di sekolah. Ibu sangat bahagia.” Matanya masih menerawang. Sudut bibir yang ditarik melebar, semakin jelas membentuk senyuman di wajahnya yang mulai merona merah. Aku belum pernah melihat Ibu tersipu seperti ini. Tidak, seingatku.

“Lalu kenapa Bapak tidak setuju dengan cita-cita Hafidz jika Bapak juga pernah punya hobi menulis?”

“Yah... hidup kadang tidak selalu sejalan dengan keinginan kita. Kehidupan di desa kecil seperti di sini, tidak menyediakan tempat untuk orang-orang yang mempunyai keinginan yang berbeda dari orang lain.” Wajah Ibu berubah layu. “Lagipula, saat itu Bapak ingin segera menikahi Ibu,” tambahnya sambil melihat ke arahku dengan senyuman, seolah tidak ingin wajah murung itu terlihat olehku.

Ada sedikit penyesalan dalam diriku karena telah bertanya.

“Berjalanlah, Nak ... gapai impianmu. Mungkin kamu tidak akan bisa menggapai bintang. Tapi jika kamu berpatokan pada bintang itu, dia akan menunjukanmu arah yang tepat ke tempat yang ingin kamu tuju!"

Aku mencoba memaksakan senyumku, lalu membenamkan kepala di pangkuan Ibu. Diusapnya kepalaku dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Sudut mataku menangkap bayangan kertas yang ada di dinding kamar, yang sudah aku tahu betul apa tulisannya:

MENULISLAH! AGAR TERUKIR JEJAK, BAHWA DIRIMU PERNAH BERKARYA.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline