Lihat ke Halaman Asli

Rita Mf Jannah

Pelaku Pasar Modal, Pengamat Pendidikan, Jurnalis, Blogger, Writer, Owner International Magazine

7 Kilometer Air Mata: Jalan Pulang Tanpa Rumah

Diperbarui: 29 Januari 2025   21:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengungsi Palestina (Sumber gambar: voaindonesia.com)

Penderitaan para pengungsi Palestina kembali ke rumah mereka sejauh 7 kilometer. Tidak sekadar perjalanan fisik, tapi juga perjalanan penuh penderitaan, kesengsaraan, dan ketidakpastian. Bukan menuju rumah yang hangat, tapi ke reruntuhan yang tak lagi bisa disebut rumah.

Setelah gencatan senjata antara Israel dan Hamas pada 19 Januari 2025, ribuan warga Palestina mulai kembali ke rumah mereka yang hancur akibat perang. Banyak dari mereka yang harus berjalan kaki sejauh 7 hingga 8 kilometer melalui Jalan Al-Rashid di pesisir pantai.  

Perjalanan ini sangat berat, terutama bagi anak-anak dan orang tua. Mereka harus menempuh jarak yang jauh dengan membawa barang-barang seadanya. Beberapa laporan menyebutkan bahwa pasukan Israel sempat menembaki warga yang mencoba kembali ke rumah mereka di lingkungan Zeitoun, Gaza selatan.  

Anak-Anak Tanpa Keluarga

Meskipun rumah-rumah mereka telah hancur, banyak warga yang merasa bahagia bisa kembali ke tanah kelahiran mereka. Seorang pemuda Palestina mengatakan, "Hal terpenting adalah saya kembali."  Sebagaimana dikutip dari merdeka.com (28/01/2025).

Para pengungsi Palestina berjalan kaki di bawah terik matahari atau di tengah dinginnya malam, sering kali tanpa cukup makanan dan air. Sebagian membawa barang-barang seadanya---kantong plastik atau koper kecil yang berisi sisa-sisa kehidupan mereka sebelum perang. Banyak yang kelelahan, terutama anak-anak dan orang tua, tapi mereka tidak punya pilihan selain terus melangkah.

Di sepanjang perjalanan, mereka melewati puing-puing bangunan yang dulu adalah rumah mereka, sekolah anak-anak mereka, atau pasar tempat mereka mencari nafkah. Ada yang menangis melihat rumahnya hanya tinggal reruntuhan, ada yang berdiri lama di depan bekas rumahnya sambil berusaha menerima kenyataan pahit.

Beberapa orang yang kembali tidak lagi menemukan keluarga mereka. Ada yang kehilangan orang tua, pasangan, atau anak-anak, dan mereka harus berjalan pulang dengan hati yang hancur. Yang paling memilukan adalah anak-anak yang berjalan sendirian karena keluarga mereka sudah tiada atau terpisah entah di mana.

Di tengah perjalanan, mereka juga masih menghadapi ancaman: ranjau darat, reruntuhan yang bisa roboh kapan saja, dan ketakutan akan serangan mendadak. Bahkan ketika sudah sampai di tujuan, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa tempat yang dulu mereka sebut rumah kini hanya tinggal kenangan.

Mereka kembali, bukan karena segalanya sudah aman, tapi karena mereka tidak punya tempat lain untuk pergi. Mereka ingin kembali membangun kehidupan, meski dengan tangan kosong dan hati yang penuh luka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline