Pagi itu, kembali aku membuka lembaran demi lembaran brosur travel pariwisata. Bukan hal aneh bila aku ingin kembali berpetualang sebab telah lama vacum.
Kegilaanku travelling keliling dunia kandas setahun yang lalu. Saat aku putus dengan Alan. Mungkin lebih tepatnya aku yang memutus. Bagaimana tidak, aku tak bisa menjalin kasih dengan pria yang terlalu mendominasi hidupku.
Mungkin terdengar egois, tapi bukan itu. Dominasi yang kumaksudkan adalah segenap keinginan pria keturunan Jerman itu mengontrol hidupku sepenuhnya. Namun di sisi lain, ia sendiri tak mau dikontrol.
*********
Masih kuat dalam ingatanku. Bagaimana Alan selalu melarangku bertemu dengan teman-teman priaku, meski hanya untuk mendiskusikan tugas kampus. Bahkan pernah suatu hari, aku terpergok Alan berbincang dwngan Yudi di mal. Saat itu kami sedang mendiskusikan acara menggelar pesta wisuda akhir tahun.
Tiba-tiba Alan muncul di hadapanku. Dengan gerakan kasar, dia menyeret tanganku pergi dari tempat itu. Tanpa ba-bi-bu, meninggalkan Yudi yang tersentak kaget.
Dan kejadian itu bukan yang pertama kali. Sebab terus terjadi dan terjadi. Bahkan dengan dosenku yang sudah paruh baya pun, Alan tak pandang bulu. Saat aku sibuk membicarakan tugas akhir di kampusku, mendadak Alan muncul dan melayangkan bogem mentahnya ke wajah Pak Suparjo, hingga kacamatanya pecah berantakan.
Setelah beragam kejadian yang selalu berakhir dengan permintaan maaf Alan atas sikapnya. Tampaknya aku sudah mulai jengah, bosan dengan sikap posesifnya. Meski wajahnya perpaduan Richard Gere dan Pierce Brosnan, tapi percaya dirinya sangat minus. Sejak hari itu, aku mengajaknya putus.
*********
Putus dengan Alan membuatku tak percaya lagi dengan lelaki. Sebab aku takut ujung-ujungnya akan mengebiri kebebasanku dalam menyiapkan masa depan. Untuk apa bercinta kalau hanya berujung pada pengekangan dan kecemburuan tak beralasan.