Razia cukur rambut secara paksa tak beda jauh dengan pembulian, mengapa hal tersebut selalu terjadi pada sekolah-sekolah di negara kita? Berikut jawabannya!
Tampaknya cara sekolah menertibkan rambut siswa dengan Razia Cukur Rambut sudah bukan hal baru lagi di sekolah-sekolah kawasan Asia, dan juga negara kita. Hal ini selalu ada, terjadi, dan terjadi lagi. Lalu mengapa hal tersebut selalu terjadi dan seakan menjadi sebuah tradisi?
Beberapa hal di bawah ini dapat diindikasikan sebagai faktor-faktor penyebab selalu terjadinya razia cukur rambut di sebuah sekolah.
Minimnya komunikasi intensif dan positif antara sekolah dengan orangtua
Apabila komunikasi antara sekolah dengan orangtua intensif dan baik, tentu saja tidak akan mengakibatkan terjadinya beragam razia sebagai bentuk penghukuman terhadap siswa.
Sekolah menginginkan siswanya berambut rapi agar nyaman dipandang sebagai siswa terurus. Sementara di sisi lain, bak gayung bersambut, orangtua juga dapat menerima hal tersebut dengan legowo, tanpa dipaksakan.
Sebab seringkali terungkap, bahwa banyak sekolah yang memaksakan kehendaknya tanpa koordinasi dengan orangtua murid. Tak jelas aturannya, seperti apa aturan rambut pendek yang dikehendaki sekolah. Misal berapa sentimeter jaraknya dari alis, dari telinga, dan sebagainya.
Akibat ketidakpastian ini, kerap membuat salah paham antara sekolah dengan orangtua murid. Orangtua merasa telah mengajak anaknya ke salon memotong rambut, namun ternyata sekolah menganggap rambut masih terlalu panjang, hingga kemudian dengan seenaknya main pangkas rambut. Apalagi kenyataan di lapangan, cara sekolah memotong rambut tak karuan macam nangkap maling ayam, asal sabet dan ugal-ugalan pendek, sehingga rambut makin tak karuan bentuknya.
Hal inilah yang sering membuat orangtua merasa jengkel dan tak terima, sebab mahkota anaknya dihancurkan sedemikian rupa. Mereka merasa baru saja memotong rambut anaknya ke salon, tapi toh kemudian dirazia juga. Sehingga orangtua siswa menangkap kesan sekolah bersikap egois dan memaksakan kehendak.
Bahkan yang menjadi sorotan adalah apabila sekolah tersebut ternyata menerapkan kurikulum merdeka, sebuah pola mendidik yang berpusat pada siswa. Sejatinya merdeka memang bukan berarti si anak bisa semaunya membiarkan rambutnya gondrong tak karuan. Namun disisi lain, karena kurikulum merdeka berpusat pada anak, maka sudah sepatutnya sekolah menegur namun dengan tetap mempertimbangkan perasaan siswa.
Sekolah selayaknya menjalin komunikasi hangat dan dekat dengan siswa, sehingga anak memiliki kesadaran hati nurani tentang manfaat rambut rapi. Dengan demikian tak terkesan sekolah memaksakan kehendaknya sendiri sebab memiliki kekuasaan.