Mengejawantahkan semangat Sumpah Pemuda tanpa terus tenggelam dalam kelindan teori sebab imperialisme modern telah bergerak liar dan hampir mencekik jalan nafas kemerdekaan bangsa ini
Tanpa adanya Sumpah Pemuda, mungkin keinginan bertekat untuk satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air Indonesia tidak akan terwujud. Tanpa tekat perwujudan bersatu, maka kemerdekaan di 1945 hanyalah sebuah angan-angan belaka, sebab penjajah sangat gemar meninabobokan bangsa kita kala itu. Hanya tekat Sumpah Pemudalah yang kemudian membangunkan para pemuda Indonesia dari tidur panjangnya.
Tekat mempersatukan bangsa tercetus dari pemikiran cerdas anak-anak bangsa yang berhasil mengejar tingkat pendidikan anak kolonial. Mulai berpikir jelas ke depan, hingga memahami strategi licik ala penjajahan Belanda.
Strategi licik devide et impera
Tak dapat dipungkiri bila di masa penjajahan, penjajah menanamkan cakarnya sedemikian kuat sehingga bangsa kita sulit berkutik. Sudah bukan rahasia lagi bila disaat itu penjajah dengan liciknya memakai strategi politik "devide et impera," pecah belah dan jajahlah. Dan kelicikan tersebut terbukti efektif menghancurleburkan bangsa kita dalam adudomba dan kebencian.
Sejarah penjajahan yang bemula dari keinginan VOC untuk berdagang rempah rempah, namun keinginan awal berdagang bertambah menadi keinginan menjajah dan menguasai ibu pertiwi.
Keserakahan dan kelicikan ala serigala, dengan pola pikir bila dapat memperoleh gratis dan merampas, mengapa harus membeli serta mengeluarkan tenaga dan uang? Kelicikan inilah yang kemudian menjadi awal kehancuran bangsa kita dalam kangkangan ketamakan penjajah.
Devide et impera dijalankan Belanda demi mencapai ambisinya menguasai Indonesia dalam segala hal, yang kerap disebut sebagai 3 G, yakni Gold sebagai ambisi menguasai kekayaan dan sumber daya alam seperti rempah-rempah. Kedua adalah Glory, bahwa kejayaan penjajah dilihat dari luasnya daerah koloni yang dimiliki. Serta ketiga dibarengi penyebaran keyakian dengan Gospel.
Semboyan 3 G pertama kali dikemukakan oleh Paus Alexander VI dari Vatikan, setelah menyelesaikan pertikaian antara Portugis dan Spanyol melalui Perjanjian Tiordesitas pada 1494, sebagaimana dikutip dari kompas.com (11/01/2022).
Semboyan inilah yang kemudian menjadi taktik bagi bangsa Belanda untuk memperluas daerah jajahannya dengan paket domino lain yang diembannya. Saat rempah-rempah didapat, maka wilayah akan dicaplok, lalu keyakinan agama serta merta tersebar.
Strategi ini sangat menguntungkan bagi penjajah, namun tidak demikian bagi negara jajahannya, mereka menjad sapi perahan yang diperas habis-habisan. Tak ada kesempatan untuk berpikir jernih tentang persatuan, sebab selalu dicekoki dengan hal-hal merusak oleh penjajah.