Konfrontasi antara Hizbullah dan Israel telah muncul sebagai faktor signifikan yang
mempengaruhi dinamika keamanan dan politik di Timur Tengah. Sejak berdirinya Hizbullah pada tahun 1980-an sebagai organisasi perlawanan terhadap pendudukan Israel di Lebanon, kedudukan antara kedua entitas tersebut telah ditandai oleh ketegangan yang mendalam dan
sering meningkat menjadi konflik militer yang intens. Perang ini meluas hingga melampaui wilayah Lebanon dan Israel, dengan memengaruhi proses geopolitik yang lebih luas diseluruh Timur Tengah dan menarik perhatian internasional. Geopolitik konflik ini telah mengubah keseimbangan kekuatan di Timur Tengah, dengan negara-negara yang terlibat berlomba-lomba untuk meningkatkan aliansi strategis mereka secara militer dan diplomatik untuk menegaskan pengaruh dan menjaga kepentingan nasional di tengah dinamika yang berkembang di kawasan itu. Setiap negara yang berpartisipasi berusaha untuk memperkuat hubungan strategisnya untuk mengekspresikan pengaruh ditengah dinamika yang berkembang. Iran secara progresif mengonsolidasikan pengaruhnya dengan mendukung Hizbullah di Lebanon dan membina hubungan dengan Suriah sehingga mereka dapat memperluas jangkauan geopolitiknya. Sebaliknya, Israel dengan tekun menjalin aliansi militer dengan Amerika Serikat dan banyak negara-negara Eropa mengamankan bantuan untuk menegakkan dominas militernya. Negara-negara Teluk, termasuk Arab Saudi dan Uni Emirat Arab terlibat secara aktif, mereka meningkatkan kontak mereka dengan negara-negara Barat untuk mengurangi pengaruh Iran yang semakin meningkat di wilayah tersebut.
Balance of Power merupakan sebuah teori dalam hubungan internasional yang menyatakan bahwa setiap negara atau koalisi negara melindungi kepentingannya dengan mengimbangi kekuatan musuh-musuhnya. Negara-negara dapat membangun keseimbangan kekuatan melalui beberapa cara termasuk kolaborasi diplomatik, menambah kekuatan militer, atau perluasan wilayah. Dukungan Iran terhadap Hizbullah memberikan tekanan yang cukup besar terhadap Israel dalam kerangka Balance of Power. Hizbullah sebagai proksi Iran untuk mengurangi dominasi Israel dan menambah pengaruh Iran di Timur Tengah. Israel yang menyadari bahaya dari Hizbullah secara aktif meminta kerjasama dari negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat untuk mempertahankan supremasi regionalnya. Israel mempertahankan dominasinya dan melawan bahaya dari aliansi Iran-Hizbullah dengan memanfaatkan bantuan militer dan diplomatik dari sekutu-sekutunya. Bersamaan dengan itu, Iran terus memperkuat fungsi Hizbullah sebagai instrumen untuk melawan pengaruh Israel, sehingga menciptakan Balance of Power yang tidak stabil di Timur Tengah.
Perang dingin adalah kondisi global yang ditandai oleh ketakutan yang meluas akan
konflik nuklir yang mengakibatkan hubungan tegang tanpa kekuatan militer formal, namun penuh dengan ancaman konfrontasi yang signifikan. Kondisi ini dicirikan sebagai "damai tetapi tidak damai" karena kedua faksi yang bertikai, khususnya Amerika Serikat dan Uni Soviet selalu siap untuk memulai konfrontasi nuklir yang berpotensi meningkat menjadi pertempuran global yang dahsyatii. Perang dingin dalam konteks konflik Hizbullah-Israel di Timur Tengah merupakan persaingan ideologis dan geopolitik diantara negara-negara besar. Iran dan para pendukungnya bertujuan untuk menentang supremasi Barat dan Israel, menggunakan Hizbullah sebagai instrumen strategis untuk menambah pengaruh mereka di wilayah tersebut. Amerika Serikat dan sekutunya secara agresif mendukung Israel untuk mengurangi pengaruh Iran dan menjaga kepentingan geopolitik mereka di Timur Tengah. Perjuangan ini, meskipun terkadang tidak langsung, merupakan contoh khas Perang Dingin kontemporer, ketika pertarungan lebih terwujud melalui aliansi dan proksi daripada melalui keterlibatan militer langsung antara negara-negara besar.
Mengingat konfliknya yang cukup rumit dan luas, memahami dinamika konflik ini
memerlukan pendekatan yang mendalam, terutama dari sudut pandang teori keamanan dalam hubungan internasional. Dengan menggunakan pendekatan realis, yang mementingkan kepentingan negara dan keberlangsungan hidup di tengah anarki internasional, pentingnya kerjasama antarnegara dalam menjaga perdamaian, memungkinkan pemahaman yang lebih
mendalam tentang motivasi yang mendorong tindakan para aktor yang terlibat dan implikasi yang dihasilkan bagi politik global. Dalam kerangka perang Hizbullah-Israel, kedua belah pihak melihat satu sama lain sebagai ancaman eksistensial. Israel, sebagai negara yang dikelilingi oleh entitas yang bermusuhan, memandang perlunya mempertahankan kekuatan militernya untuk mengurangi ancaman yang dihadirkan oleh Hizbullah. Hizbullah memandang Israel sebagai entitas imperialis yang membahayakan stabilitas dan kedaulatan Lebanon dan wilayah Arab. Konflik tersebut didorong oleh dinamika kekuatan dan kesimbangan kekuatan. Meskipun negara Israel secara tradisional mendominasi militer, harus mengatasi ancaman asimetris yang dihadirkan oleh Hizbullah dengan menggunakan taktik gerilya, serangan roket, dan mendapat keuntungan dari dukungan penduduk lokal di Lebanon. Hizbullah melakukan pencegahan untuk menahan Israel dengan mengancam serangan balasan, terutama yang menargetkan wilayah utara Israel.
Elemen penting dalam perang Hizbullah dan Israel adalah partisipasi entitas nonnegara, khususnya Hizbullah yang secara signifikan mempengaruhi dinamika konflik ini. Hizbullah beroperasi sebagai organisasi militer yang terlibat dalam perlawanan bersenjata terhadap Israel dan badan politik dengan pengaruh signifikan dalam sistem politik Lebanon. Kelompok ini menerima pendanaan dari negara-negara seperti Iran yang menganggap Hizbullah sebagai aset strategis untuk meningkatkan pengaruhnya dalam menentang Israel di wilayah tersebut. Dalam kerangka ini, partisipasi aktor nonnegara seperti Hizbullah menghadirkan tantangan terhadap model konvensional yang secara dominan menekankan peran negara sebagai entitas utama dalam keamanan internasional. Aktor-aktor nonnegara, seperti Hizbullah, tidak dibatasi oleh norma-norma internasional dan kerangka hukum yang biasanya mengatur perilaku negara, sehingga memberi mereka keleluasaan yang lebih besar untuk melaksanakan operasi militer atau bentuk-bentuk kekerasan lainnya tanpa mematuhi batasan-batasan hukum internasional. Israel sebagai negara yang diakui secara global, tunduk pada beberapa peraturan dan batasan yang telah ditetapkan oleh hukum internasional, khususnya mengenai penerapan kekuatan militer. Negara tersebut harus mematuhi banyak perjanjian internasional, terutama hukum humaniter internasional yang ditujukan untuk mengurangi dampak peperangan terhadap warga sipil dan infrastruktur sipil.
Ketegangan antara Hizbullah dan Israel terus berlanjut, dengan kedua belah pihak
secara aktif mempersiapkan kemungkinan konfrontasi yang signifikan di masa mendatang. Israel memiliki salah satu militer paling canggih di kawasan tersebut, tengah meningkatkan kemampuan militernya dengan memprioritaskan kemajuan teknologi tahanan. Hizbullah, entitas non-negara terus meningkatkan kemampuan persenjataan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Hal ini dapat dicapai karena bantuan berkelanjutan dari Iran yang secara andal menyedikan persenjataan canggih bagi Hizbullah, termasuk rudal jarak jauh dan teknologi pesawat nirawak, sehingga meningkatkan status Hizbullah sebagai bahaya yang signifikan bagi Israel. Dalam teori yang disebut "security dillema" ketika kedua belah pihak terus berlomba dalam persenjataan untuk mengurangi ancaman satu sama lain, sehingga meningkatkan kemungkinan eskalasi perang yang lebih luas. Upaya untuk meningkatkan
keamanan oleh satu pihak dianggap sebagai ancaman oleh pihak lawan yang mendorong
respons dengan melibatkan peningkatan kemampuan militernya, sehingga menciptakan siklus yang menantang untuk diganggu. Partisipasi pihak eksternal, termasuk Rusia, memperburuk kerumitan geopolitik perang ini. Bantuan militer Rusia untuk rezim Bashar al-Assad, telah memberikan dimensi geopolitik global pada krisis Suriah. Keterlibatan militer Rusia di Suriah sangat penting dalam mempertahankan pemerintahan Assad, sehingga memperkuat pengaruh Hizbullah di wilayah tersebut. Partisipasi negara-negara penting seperti Rusia menggambarkan bagaimana kepentingan kekuatan global mengintensifkan ketidakstabilan di kawasan tersebut. Dukungan Rusia untuk Assad dan Hizbullah merupakan bagian integral dari strateginya untuk mempertahankan pengaruhnya di Timur Tengah yang bertujuan untuk meningkatkan kedudukan globalnya dan melawan dominasi Barat, khususnya Amerika. Keterlibatan entitas lain, baik secara regional maupun internasional membuat ketidakstabilan di kawasan tersebut semakin susah untuk dikelola, sehingga meningkatkan bahaya eskalasi menjadi konflik yang lebih luas.
Keterlibatan sejumlah aktor non-negara menggambarkan ketidakcukupan sistem
keamanan untuk mencegah eskalasi kekerasan. Organisasi seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) harus menjalankan peran penting dalam menjaga stabilitas regional dan mencegah perang berskala besar. Dalam praktiknya, sering kali terbukti tidak memadai dalam menangani krisis yang melibatkan aktor nonnegara dan persaingan geopolitik yang intens. PBB secara langsung telah mengumumkan resolusi mengenai konflik Israel-Hizbullah, termasuk mandat untuk menghentikan permusuhan dan penarikan pasukan. Meskipun demikian, resolusi-resolusi ini sering kali tidak efektif dalam meredakan ketegangan secara substansi. Dukungan kuat dari negara-negara besar, termasuk Iran dan Rusia untuk entitas non-negara seperti Hizbullah mempersulit upaya internasional untuk mengurangi kekerasan.
Pertempuran ini juga menandakan persaingan ideologis yang mendalam di kawasan Timur Tengah. Hizbullah memiliki kepentingan dalam konflik sektarian yang meluas antara Syiah dan Sunni di wilayah tersebut. Sebagai negara dengan mayoritas Syiah, Iran memandang Hizbullah sebagai pertahanan penting terhadap hegemoni pemerintah Arab Sunni, khususnya yang didominasi oleh Arab Saudi. Meskipun negara Israel tidak terlibat secara langsung dalam pertikaian sektarian Sunni-Syiah, telah bersekutu dengan koalisi Arab Sunni sebagai reaksi terhadap bahaya yang dihadirkan oleh Iran dan Hizbullah. Partisipasi Rusia di Suriah memperkenalkan aspek geopolitik global ke dalam pertempuran tersebut. Rusia, yang dengan penuh semangat mendukung kediktatoran Bashar al-Assad di Suriah, menganggap Hizbullah sebagai sekutu penting dalam menjaga stabilitas pemerintahan Assad, pilar utama kekuatan Rusia di Timur Tengah. Konfrontasi antara Hizbullah dan Israel tidak hanya melibatkan peserta regional tetapi juga mempengaruhi keseimbangan kekuatan global, yang melibatkan negara-negara penting seperti Rusia dan Amerika Serikat. Amerika Serikat sebagai sekutu utama Israel telah menawarkan bantuan militer dan diplomatik yang substansial kepada Israel dalam konfliknya dengan Hizbullah dan Iran. Sebaliknya, Rusia telah berupaya untuk menambah pengaruhnya di wilayah tersebut dengan mendukung sekutu-sekutunya Iran dan Hizbullah.
Di masa mendatang, tanpa adanya penyelesaian yang komprehensif dan lebih banyak partisipasi internasional, perang ini dapat terus berlanjut dan memperparah ketidakstabilan di Timur Tengah. Meskipun ada beberapa inisiatif diplomatik dan mediasi, termasuk yang dilakukan oleh PBB dan entitas internasional lainnya, konflik ini kemungkinan akan terus berlanjut sebagai masalah keamanan yang signifikan di wilayah tersebut. Tantangan dalam menyelesaikan konflik ini berasal dari berbagai kepentingan yang sering kali bertentangan dari berbagai pemangku kepentingan di tingkat lokal, regional, dan dunia. Tanpa adanya perubahan substansial dalam dinamika politik dan keamanan di wilayah tersebut, ditambah dengan komitmen dari semua pihak untuk mengejar resolusi damai, kemungkinan eskalasi perang lebih lanjut akan terus berlanjut pada tingkat yang tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H