Oleh: Faldy R.
Banyaknya kontradiksi dan disharmoni perundang-undangan baik secara horizontal maupun vertikal menjadi latar belakang dibentuk nya transplantasi yang bernama omnibus law.
Kalimat sakral yang kerapkali kita dengar bahwa "Indonesia ialah negara hukum" bukan sebuah anomali semata, ia fakta yang yang tak pernah bisa terbantahkan. Penopang negara hukum ialah peraturan perundangan yang mengatur segala aspek kehidupan bernegara dan berbangsa.
Peraturan perundangan dibuat sebagai instrumen mencapai kesejahteraan bersama. Mestinya, semakin banyak jumlah peraturan perundangan kian sejahtera negeri ini. Fakta bicara lain, regulasi yang tambun malah membuat negeri ini lamban bergerak menggapai kesejahteraan rakyat.
Akhir-akhir ini publik gencar membicarakan omnibus law, implementasi konsep omnibus law dalam peraturan perundangan ini sebenarnya lebih mengarah pada tradisi Anglo-Saxon/Common Law.
Secara harfiah omnibus berasal dari bahasa Latin yang artinya "for everything" rujukan definisi ini tepat jika di ibaratkan pepatah "sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui".
Banyaknya kontradiksi dan disharmoni perundang-undangan baik secara horizontal maupun vertikal menjadi latar belakang dibentuk nya transplantasi yang bernama omnibus law. Sistem perundang-undangan alih-alih ringkas, padat, dan jelas, malah menderita 'obesitas regulasi' sehingga lamban bergerak memberi legitimasi.
Omnibus law bukanlah "sabda raja", secara konseptual, omnibus law bertujuan menata konflik norma dalam peraturan perundangan-undangan.
Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, saat ini Indonesia memiliki setidaknya 62.000 peraturan, yang terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:
- Bleidsregel/peraturan kebijakan.
- Beschikking/keputusan pejabat tata usaha negara.
- Regeling/peraturan.
Jenis peraturan itu diproduksi oleh DPR, Presiden, Kementerian hingga Pemerintah Daerah. Hal tersebut berakibat pada lunturnya marwah kepastian hukum di Indonesia.
Berdasarkan laporan Doing Business in Asia (2016), Indonesia tercatat sebagai salah satu negara di Asia yang sistem hukum dan perundang-undangannya terkenal sangat 'birokratis' sekaligus 'koruptif' bagi para investor lokal terutama asing.