Siapa tidak senang melihat lampu natal yang berpendaran, miniatur tongkat Santa Claus yang kemilau di pengkolan jalan, dan bola-bola bolham kekuningan yang berpijar dari sisi ke sisi jalan raya? Beberapa orang menunjukkan ekspresi bahagia tatkala perangkat audio dari angkot-angkot menyetel lagu legendaris O Holy Night milik Mariah Carey dengan puncak notasi yang melengking: Merdu, teknis, tetapi dengan volume yang keterlaluan dan terasa sangat menyiksa.
Semua orang di kota ini sudah akrab dengan berbagai istilah yang diproduksi dan diwariskan selama puluhan tahun lalu, yang seakan menegaskan bahwa perayaan Natal di kota ini adalah salah satu yang terbaik di dunia. Bagi sebagian besar warga kota ini, bulan ber-ber adalah rentang masa paling indah dan mengesankan sepanjang tahun berjalan. Suasana Natal dibangun pelan-pelan, indah, dan syahdu. Semua yang sedang berjibaku di rantau harus bergegas pulang meski dengan dana terbatas. Segala yang indah dan bagus dipoles sebagai tindakan representatif bahwa Natal selalu adalah perayaan sukacita yang wajar-wajar saja kalau dibungkus dengan hedonisme dan komodifikasi yang begitu banal, buas, tetapi semakin hari semakin dirayakan sebagai kesadaran bersama yang biasa dan diterima begitu saja.
Baiklah. Tampaknya kita perlu sejenak mengingat bahwa ada satu wacana yang ambivalen yang bergaung tiap tahun dalam berbagai khotbah di mimbar gereja atau pesan dan kesan Natal berbunga-bunga dari pejabat rendah hingga yang tinggi, yakni kesederhanaan. Dalam pengalaman saya menjadi penyanyi dalam ibadah minggu di gereja, inilah wacana yang setiap tahun tampil dalam derajat pragmatisme yang cukup memalukan: digunakan sekaligus dilanggar. Beberapa langkah dari situs-situs yang digunakan oleh kekuasaan untuk tampil seperti malaikat, kesederhanaan itu menguap menjadi retorika, menyembunyikan borok-borok di balik mistletoe plastik, lampu mati-manyala massal, kembang api berharga ratusan juta, dan miniatur menara (Eiffel?) yang dipenuhi anak-anak muda yang berswafoto untuk diunggah ke Instragram dengan senyum sumringah; mencoba mengartikulasikan perasaan syukur tentang kepedulian para pemimpin terhadap kebahagiaan warganya.
Dalam Sajak 1990, Rendra dengan keras menulis:
..................
di rumah ibadah orang nerocos menghapal dan di kampung
menjadi pembenci yang tangkas membunuh dan membakar.
Para birokrat sakit tekanan darah sibuk menghapal dan menjadi radio.
Kenapa pembangunan tidak berarti kemajuan ?
Kenapa kekayaan satu negara membuahkan kemiskinan negara tetangganya
Peradaban penumpukan tak bisa dipertahankan, lihatlah