Lihat ke Halaman Asli

Fakta P.B.

Pencari loker. Penulis spesialis lomba. Tukang makan yang doyan berimajinasi.

Kisah Sebuah Tanda Tangan

Diperbarui: 26 Juli 2023   23:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setelah menuntaskan sebuah panggilan, dada Sapto ditimpa kegundahan. Kakak perempuan satu-satunya tiba-tiba mengalami sesak napas dan sempat hilang kesadaran sepuluh menit sebelumnya. Lantun duka itu lekas dilayangkan oleh sang bibi jelang pukul tujuh malam yang kebetulan berniat mampir ke rumah untuk memberikan bingkisan lebaran. 

"Kamu bagaimana, sih, mosok Idul Fitri masih sibuk cari uang di sana? Ra ono libure blas! Memangnya awakmu ndak kasihan sama saudara sendiri? Sudah tiga tahun kamu minggat. Aku ndak bisa jamin kalau besok Mbakyu-mu masih menyambutmu dengan senyuman. Pulang saja sekarang!" hardik Bulik Narti, adik bungsu dari ibu Sapto yang kini sudah berpulang bersama belahan jiwanya. 

Percakapan diakhiri tanpa salam seperti biasanya. Sapto mafhum benar jika Bulik Narti sudah memuntahkan nada tinggi layaknya orator, lelaki gempal berkacamata 33 tahun itu tak mampu berkutik. Ia sudah menganggap bibinya sebagai ibu asuh, menyalakan kembali cita kasih yang sempat meredup lima tahun lalu. Bersama Kirana, sang kakak yang juga jadi harta berharganya, Sapto mampu menapaki kegilaan dunia dengan tegar.

Keesokan paginya, tanpa pikir panjang Sapto langsung menghadap atasannya dengan raut pias. Ia memohon waktu cuti sampai dua minggu. Untung saja, manajer biro periklanan itu memaklumi lewat senyum tipis namun tulus, turut berduka dengan kondisi yang dialami anak buahnya. Setelah mendapatkan surat izin, Sapto bergegas mengemasi seluruh perlengkapan ke dalam koper dan ransel. Mengarungi jalanan Nagasaki menuju bandara Osaka dengan taksi. Di kepalanya bergantian melintas wajah kakaknya yang kuyu, raut kesal Bulik Narti, dan rekening tabungan hasil kerja selama tiga tahun, pelan terkikis.

***

Burung raksasa mendarat di bandara Adi Sumarmo sepuluh menit lebih lambat dari biasanya. Ia tergopoh menuju deretan taksi sambil menguasai rasa lapar yang mulai merongrong. Langsung dikebut menuju RS Murni Kasih. Di kursi belakang Sapto kembali menyimak isi pesan suara kiriman Bulik Narti yang baru dapat dibukanya.

"Mbakyu-mu dirawat di Ruang Kencana nomor 127, lantai lima. Oh, ya, nanti kamu temui Dokter Sadewo juga. Beliau yang mengurus proses perawatannya."

Tidak butuh waktu lama bagi Sapto saat menyusuri selasar tiap bangsal rumah sakit berlantai delapan tersebut. Sosok yang dicarinya baru saja selesai memeriksa kondisi Kirana bersama dua suster berwajah mungil. Sapto langsung menahan langkah Dokter Sadewo.  

"Jadi begini, Mas," sang dokter menepuk lembut bahu Sapto sambil memasang raut datar, "Mbak Kirana mengalami hipoksia yang berasal dari penyakit paru obstruktif kronis atau COPD. Dari diagnosis yang kami lakukan, ternyata penyakit tersebut sudah diderita pasien sejak lima tahun lalu, ditambah kurangnya kadar oksigen dalam darah sehingga memicu jumlah karbon monoksida. Pengidap COPD dapat mengalami gangguan pernapasan saat sel atau jaringan dalam tubuh tidak mendapatkan asupan oksigen sebanyak yang dibutuhkan, normalnya 75 sampai 100 persen. Jika gejala ini berkelanjutan, dapat terjadi peradangan, terutama di bagian alveoli atau kantung udara paru-paru."

"Lalu, selanjutnya gimana, Dok?" kejar Sapto cemas. Keringat di sekujur wajahnya masih menderas walau di atas kepalanya terhembus kesiur pendingin ruangan.

"Untuk kesembuhan pasien, Mas tinggal melakukan tiga hal: berdoa, ikhtiar, dan istirahat yang cukup. Oh, ya, satu lagi yang tak kalah penting. Melunasi biaya administrasi."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline