Penyebab hadirnya banjir di DKI Jakarta selalu dihubungkan dengan kondisi bendungan Katulampa di Bogor. Kenapa demikian? Apa kaitannya antara bendungan, Bogor, dan kondisi tinggi muka air di Katulampa?
Penanganan teknis yang selama ini dilakukan pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengurangi banjir memang sudah terbilang progresif. Mulai dari jaman dahulu dengan dibangunnya sodetan sungai, pembuatan banjir kanal timur dan barat, normalisasi sungai, penyedotan air sungai, serta memindahkan permukiman yang menempati sempadan sungai pun dilakukan. Jurus ampuh pemerintah dalam menangani banjir sudah dikeluarkan. Namun kenapa banjir masih terjadi? ini beberapa penyebab yang mungkin belum banyak kita tau:
#1
KERUSAKAN HUTAN
Di Kawasan Puncak Bogor sebagai Daerah Tangkapan Air
Kerusakan hutan merupakan salah satunya. Hutan memiliki fungsi sebagai pengatur tata air di dalam sebuah daerah aliran sungai (DAS). Hutan mengatur air yang ditangkap di area hulu yang kemudian disimpan dan didistribusikan hingga ke hilir dalam tempo waktu yang lebih lambat. Hilangnya hutan menyebabkan cepatnya limpasan air yang jatuh ke permukaan dan langsung dibuang ke dalam sungai sehingga terkamulasi di hilir. Air tidak memiliki banyak waktu untuk tersimpan di dalam permukaan sehingga waktunya lebih cepat.
Keberadaan hutan yang semakin mengkhawatirkan sebagai bukti bahwa pemerintah belum melirik sumber daya hutan di daerah tangkapan air utama hulu DAS Ciliwung Kawasan Puncak. Hasil riset Forest Watch Indonesia pada tahun 2017 menyatakan bahwa hutan alam tersisa di DAS CIliwung adalah 3407 hektar. Dan DAS CIliwung masih mengalami kehilangan hutan seluas 66 kali luas Kebun Raya Bogor selama periode 2000 sampai 2016. (SUMBER : PKHI FWI)
#2
KERUSAKAN HUTAN (LAGI)
Meskipun Kawasan Puncak secara administrasi berada di Kabupaten Bogor, namun pemerintah DKI Jakarta seharusnya mulai peduli terhadap kondisi hutan alam di hulu. Kerusakan hutan di hulu berdampak sampai ke hilir.
Bagaimanapun ternyata banyaknya villa-villa yang dibangun serta meluasnya semak belukar/pertanian lahan kering (konversi dari hutan) di wilayah hulu dibangun atas dasar permintaan dari luar, yaitu warga Jakarta. Misal, villa dibangun atas nama jenderal yang tinggal di Jakarta atau hotel-hotel dan taman wisata yang banyak dinikmati oleh warga Jakarta.
SUMBER
#3
KONVERSI LAHAN
Sekitar 32 persen (1174.99 hektar) dari luas total kawasan hutan di Kawasan Puncak hulu DAS Ciliwung sudah bukan lagi berupa hutan (FWI 2017). Angka tersebut sangat besar jika dibandingkan dengan luas total hutan alam tersisa pada tahun 2016 (3407 hektar), yakni sekitar 34 persennya.
Kawasan Hutan konservasi (Cagar Alam dan Taman Nasional) di dalamnya telah terkonversi menjadi perkebunan teh (70 hektar), permukiman (4 hektar), villa (1.5 hektar), Estate (1 hektar), dan semak belukar/pertanian lahan kering sejumlah (117 hektar). Terdapat juga bangunan lain atau lapangan serta hutan rakyat di dalam Kawasan Hutan Konservasi. Konversi lahan turut menyumbang mempercepat proses aliran air untuk terbuang ke sungai hingga ke hilir DKI Jakarta. (Afifah 2010)