Di era desentralisasi ini peran serta dari semua elemen masyarakat tak terkecuali mahasiswa tidak dapat dielakkan lagi dalam membangun dan mengelola daerahnya sesuai dengan sumber daya masing-masing. Mahasiswa memiliki peran strategis dalam hal pemerataan pembangunan daerah dan pemberdayaan masyarakat lokal (baca:kampung halaman). Hal tersebut tercantum secara jelas dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian kepada masyarakat. Namun hari ini, kesadaran akan tanggung jawab yang demikian--semisal transformasi pola pikir, belum tersentuh secara maksimal, khususnya bagi organisasi mahasiswa kedaerahan yang secara institusional sebagai wadah mahasiswa dalam hal memfasilitasi peran strategisnya.
Fenomena tersebut tentu penting untuk kita pikirkan bersama, dipersiapkan secara cermat dan profesional oleh segenap organisasi mahasiswa kedaerahan. Ini dilakukan guna menunjang, paling tidak mengoptimalkan pembangunan daerah dengan tetap berlandas pada nilai kedaerahan, sosial budaya, ekonomi, politik, dan religi, sehingga mampu membangun daerah secara mandiri serta memiliki daya saing dengan daerah lainnya.
Menghadapi tantangan serta peluang semacam itu, maka diperlukanlah sebuah revitalisasi peran fungsional organisasi mahasiswa kedaerahan. Ini dibutuhkan untuk membentuk pelajar dan mahasiswa yang peduli dan bertanggung jawab terhadap pembangunan daerah secara cerdas, kreatif, dan inovatif. Peran serta pemerintah daerahpun sangat diperlukan guna memfasilitasi keberadaan mahasiswa rantau ini.
Sebagai seseorang yang diharapkan oleh keluarga untuk menuntut ilmu dalam rangka meningkatkan taraf hidup, menambah wawasan dan meningkatkan pola pikir, mahasiswa juga punya tanggung jawab; setelah menyelesaikan kuliahnya, mereka bisa kembali ke rahim di mana ia terlahir untuk membangun daerahnya masing-masing. Baik dari segi sosial, budaya, ekonomi, bahkan dalam hal mentransformasi nilai-nilai yang bisa mengembangkan pola pikir masyarakat luas.
Krisis nasional dalam hal pemerataan pembangunan dan lunturnya budaya lokal, hendaknya menyadarkan kita khususnya mahasiswa yang telah meninggalkan kampung halamannya, dengan kembali mbangun deso adalah sebuah wujud nyata pengabdian kita bagi sesama.
Mereka, pergi merantau untuk menimba ilmu di perguruan tinggi. Mereka tentu patut disadarkan bahwa pemerataan pembangunan dan penguatan budaya lokal ternyata bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan rakyat yang tinggal di daerah tersebut, tetapi juga mahasiswa-mahasiswa daerah itu sendiri yang notabene merupakan duta rakyat dalam hal memfasilitasi proses transformasi budaya dan teknologi di daerahnya. Hal tersebut harus sepenuhnya kita sadari bersama.
Kenyataan lain yang selayaknya dicermati adalah timbulnya kesadaran mahasiswa sebagai duta masyarakat daerah yang menghimpun diri dalam suatu organisasi kedaerahan. Tentunya mereka semua diharapkan mampu mengobati kegelisahan akan kurangnya peranan mahasiswa dalam membangun
daerahnya.
Sebuah organisasi kedaerahan, seperti Ikatan Mahasiswa Tegal (IMT), yang kini membumi di ujung selatan Ibukota Jakarta, hendaknya mampu menyadarkan kita akan arti strategis organisasi kedaerahan dalam mengemban amanah dan cita-cita rakyat untuk membangun daerahnya. Sekaligus arti penting ini menyadarkan organisasi kedaerahan akan tanggungjawabnya, baik secara moril maupun materil kepada daerahnya masing-masing.
Dimuat di Harian Radar Tegal, terbit 2 Desember 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H