Lihat ke Halaman Asli

Sifat Fanatisme Agama di Masyarakat Multikultural

Diperbarui: 23 Juni 2023   09:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Manusia pada dasarnya memiliki sifat yang bermacam-macam ada yang berifat emosional, bersifat kasi dan sayang ada pula yang bersifat fanatik seterhadap sesuatu atau obyek yang di amatinya. Sifat panatik biasanya dimiliki seseorang yang terlalu ektrim. Setiap yang namanya ektrim itu tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. hal ini merupakan hal yang besifat umum dalam kehidupan masyarakat atau tidak ada seorang pun yang yang menyenagi atau menyukaia orang-orang yang bersifat ektrim atau fanatik.

Kata fanatik merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk suatu perilaku yang menunjukkan ketertarikan terhadap sesuatu secara berlebihan. Faham atau keyakinan atau sesuatu pandangan atau pendapat tentang sesuatu, pada dasarnya pandangan tersebut tidak memiliki teori ataupun landasan kenyataan, namun ini telah diadopsi secara mendalam. Orang yang bersifat fanatik dappat dikatakan memiliki kriteria standar yang ketat dalam pemikirannyadan cenderung tidak mau menerima pendapat atau opini maupun ide dianggapnya bertentangan atau tidak sependapat dengannya.

Sifat fanatisme pada akhirnya kan menimbulkan Fanatisme pada diri manusia itu sendiri. Agama yang merupakan obyek dalam penelitian ini tentu pada umat atau penganutnya tidak ada habisnya jika dikaitkan dengan fanatisme itu sendiri. Sifat fanatisme dan Fanatisme dalam agama sebenarnya tidak ada habisnya dari waktu ke waktu hal ini akan membuka pola pikir manusia bahwa akan selalu ada kasus yang terjadi yang berkaitan dengan Fanatisme ini, hal ini terjadi berlandaskan dari sifat fanatisme dan Fanatisme itu sendiri. 

Dari sini bisa disimpulkan bahwa fanatisme agama adalah sebuah kegairahan terhadap keyakinannya yang bersifat berlebihan. Faktor-faktor yang mendorong individu atau kelompok masyarakat menjadi fanatis terhadap agama antara lain adalah doktrin, interpretasi atau tafsir terhadap kitab suci yang hanya dipahami sepenggal-sepenggal, pengaruh sistem sosial kultural masyarakat yang digerakkan oleh pemegang otoritas keagamaan, simbol-simbol keagamaan yang bersifat manipulasi, politikmkekuasaan yang mengatas namakan cita-cita eagamaan, dan problem sektarianisme. Hal tersebut merupakan serangkaian akumulasi yang berpotensi menjadi akar permasalahan didalam "fanatisme yang berujung pada kekerasan". Sementara itu, perangkat lunak yang makin menyuburkan sikap fanatisme melalui beberapa elemen yang di antaranya adalah ideologi, media, organisasi, pendanaan, dan sebagainya.

Sikap fanatisme ini sangat tidak cocok dengan masyarakat Indonesia yang kita kenal dengan masyarakat multikultural yang dijelaskan oleh J. S. Furnivall  adalah masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih komunitas (kelompok)yang secara kultural dan ekonomi terpisah-pisah serta memiliki struktur kelembagaan yang berbeda-beda satu sama lainnya. Ketidak cocokan tersebut jika dibiarkan dapat menimbulkan masalah yang lebih besar misalnya ekstrimisme, sehingga perlu adanya upaya untuk membangun hubungan sinergi antara multikulturalisme dan agama, minimal diperlukan dua hal. Pertama, penafsiran ulang atas doktrin-doktrin keagamaan ortodoks yang sementara ini dijadikan dalih untuk bersikap eksklusif dan opresif.  Penafsiran ulang itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga agama bukan saja bersikap reseptif terhadap kearifan tradisi lokal, melainkan juga memandu di garda depan untuk mengantarkan demokrasi built-in dalam masyarakat-masyarakat beragama. Kedua, mendialogkan agama dengan gagasan-gagasan modern. Saat ini, umat beragama memasuki suatu fase sejarah baru di mana merekaharus mampu beradaptasi dengan peradaban-peradaban besar yang tidak didasarkan pada agama, seperti kultur Barat modern. Hanya dengan transformasi internal dan interaksi dengan gagasangagasan modern, agama akan mampu melakukan reformulasi sintesis kreatif terhadap tuntutan multikulturalisme yang telah menjadi semangat zaman. Dengan adanya sinergi-sinergi tersebut masyarakt multikultural dapat hidup harmonis dan tentram dikarenakan tidak ada sifat fanatisme yang berujung kepada anarkisme yang tentunya sangat meresahkan masyarakat dan tidak relevan untuk dilaksanakan di Negara Indonesia ini.

 

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline