Tanah dan sengketa itu seperti telur dan sapi atau bika dan Ambon, berbeda tapi selalu bersama. Semua orang butuh tanah, right? Tapi si tanahnya sudah hampir terbagi habis dengan akumulasi yang tidak adil. Tanah yang luaaaasss, dikuasai hanya segelintir orang kaya, sementara sobat misqueen masyarakat menengah ke bawah, yang jumlahnya buaanyaaaakk, harus berebutan sisa tanah yang tinggal sedikit saja. Maka tidak heran, masalah tanah selalu senggol bacok.
Ketika telah terjadi sengketa, penyelesaiannya tidaklah sepeleh, bisa disederhanakan, tapi haram digampangkan. Karena tanah bukan hanya tentang cuan, dapat sertifikat, dijaminkan buat ongkos nikah+ Honda Beat, lantas bingung ngelunasinnya. Terdapat nilai budaya, sosial dan religius di dalamnya.
Buktinya, jagoan kita Salim Kancil sampai meregang nyawa, agar tanahnya tidak dijadikan tambang. Bahkan, pada orang desa nilai ekonomi justru berada diurutan kedua. Masih bisa tenang, ngeteh dan ngepul ditemani Khong-Guan isi rengginang hidangan Joko Pinurbo, selama masih ada tanah untuk nyawah.
Di sisi lain, sejak dulu hingga sekarang, masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan merantau, baik untuk menempuh pendidikan atau bekerja. Tidak sedikit dari mereka harus menunda terlebih dahulu untuk mengelola tanah miliknya. Sialnya, kelompok masyarakat ini paling rentan untuk diserobot tanahnya.
Untuk mendapatkan jaminan perlindungan hukum, memang diperlukan sertifikat, yang merupakan alat bukti mutlak dari kepemilikan tanah. Bersifat mutlak karena, orang lain tidak bisa mengklaim, jika di dalam sertifikat tidak tertera namanya. Batas-batasnya sudah otomatis terdata by system, bukan pakai tali rafia lagi yang bisa ditarik ulur seperti kisah cintamu. Namun faktanya, sebagian besar penduduk Indonesia belum memiliki sertifikat. Entah karena kesibukan, kekurangan dana atau merasa tanahnya sudah dijagain jin-jin dari Gunung Salak. Mungkin kamu salah satunya.
Wahai perantau, berhati-hatilah, mungkin saat kamu telah menemukan alasan untuk pulang, tanahmu sudah diserobot orang yang memasang patok sekehendak hati, seperti lagi main game Stronghold. Jika yang punya datang, tinggal bangun menara pemanah banyak-banyak.
Sebelum terlanjur, tanpa kau sadari, tanahmu hilang tak tersisa lagi, berikut kiatnya.
Pastikan tanah itu milikmu
Iyalah Bambang! Tapi... caranya bukan menghamburkan kata-kata mutiara, atau datang ke Bapaknya ngelamar. Sebab tanah tidak punya orang tua, yang punya Tuhan Yang Maha Esa, manusia hanya diminta mengelola dengan baik serta saling menghormati hak masing-masing berdasarkan aturan negara. Jamaaaah oh jamaaah! Bukan kata Ustad Maulana, tapi Pasal 1 Undang-Undang Pokok Agraria yang sering dituduh produk komunis itu.
Jika belum memiliki sertifikat, surat-surat lama yang isinya menunjuk kepemilikan tanah adalah bukti yang terkuat. Apabila kamu tinggal di daerah perkotaan yang dulu pernah diduduki langsung Belanda ada akta Eigendom, kalau yang tidak dijajah langsung, ada alat bukti yang dikeluarkan pemerintah setempat, di Jawa misalnya ada hak gogolan, pekulen, atau sanggan.