Bagai memancing di air yang keruh, demkianlah pribahasa yang cocok melihat kecenderungan program legislasi nasional akhir-akhir ini. Di tengah pendemik yang berdampak pada kondisi psikologi, sosial, dan ekonomi masyarakat, eksekutif dan legislatif berlomba-lomba merampungkan Rancangan Undang-Undang (RUU) berpolemik, dan yang terakhir adalah Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU-HIP).
Nyaris saja Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah merampungkan misi yang sekaan suci itu, mengingat syarat politis telah terpenuhi. Seluruh partai, kecuali Demokrat, menyetujui untuk melakukan pembahasan RUU HIP, dengan atau tanpa syarat.
Untung saja isu yang cukup sensitif, meskipun klasik, berkaitan dengan hantu tua tak berdaya bernama komunis, memicu organisasi massa arus utama memprotes, yakni Nahdatul Utama (NU) dan Muhammdiyah, dan dipertegas dengan Majelis Ulama Indonesia. Tentu saja pemerintah yang sedang memperbaiki citranya pada publik, mengambil keputusan populis, meskipun hanya menunda, bukan membatalkan.
Untuk mencapai tujuan negara, keadilan dan kesejahteraan sosial, menurut penyusun RUU ini, diperlukan kerangka landasan berpikir dan bertindak bagi penyelenggara negara dan masyarakat dalam bentuk Haluan Ideologi Negara (konsideran "menimbang" RUU-HIP).
Urgensinya dapat ditemukan dalam naskah akademik, adalah karena secara empiris masih adanya sikap penyelenggaraan negara yang tidak bermoral, mengabaikan hak asasi manusia, serta diskriminatif, sementara pada masyarakat adalah berkembangnya intoleransi, sifat kedaerahan, kesenjangan antara masyarakat karena tingkat ekonomi, dan degradasi moral.
Ketika mimbar jalanan berteriak "reformasi belum selesai", Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat mengambil langkah yang lebih jauh, menuntaskan revolusi Indonesia dengan menafsirkan Pancasila melalui undang-undang.
Tampaknya baik, namun terdapat beberapa poin penting yang patut diperhatikan berkaitan dengan prinsip dan kedudukan Pancasila dalam kehidupan bernengara, yang menurut penulis justru akan dipreteli oleh RUU ini, yakni kedudukan Pancasila sebagai norma fundemental negara (staatsfundamentalnorm) dan nilai universal pada Pancasilan itu sendiri.
Menggerogoti Pancasila sebagai Norma Fundamental Negara
Fungsi RUU HIP adalah sebagai prinsip umum untuk pembangunan nasional, serta pedoman bagi warga negara dalam hidup bermasyarakat, serta instrumentalistik untuk mewujdukan kebhinekaan (Pasal 4 RUU-HIP). Hal tersebut menunjukkan bahwa, logika dasar dari dibentuknya RUU ini kental dengan aroma hukum positivis yang selalu menuangkan prinsip dan aturan dalam bentuk tertulis.
Namun jika dianalisis lebih dalam, meskipun stufenbeau theory ajaran Hans Kelsen dan Nawiasky, sebagai teori rujukan pembentukan hukum tertulis dimuat dalam Naskah Akademik, namun keberadaannya hanya sebagai pajangan, tidak dipahami.
Untuk diketahui, stufenbau theory adalah sebuah teori hukum yang menganggap bahwa semua hukum itu bersumber pada satu induk, yakni norma yang paling mendasar (norma fundamental). Pada Norma fundamental inilah kedudukan Pancasila.