Ibarat perusahaan fashion yang berlomba-lomba mengeluarkan model pakaian terbaru untuk mengikuti tren, media juga seakan-akan berkompetisi dengan sesamanya untuk mengeluarkan berita terbaru yang menarik perhatian masyarakat. Percepatan arus informasi yang ada membuat masyarakat menerima banyaknya informasi dalam satu waktu sehingga mereka cenderung akan memilih yang paling menarik untuk dibaca terlebih dahulu. Mau tidak mau, media akhirnya berusaha menciptakan konten semenarik mungkin agar tidak kehilangan konsumennya.
Namun, yang patut disayangkan adalah apabila media dalam pembuatan kontennya terlalu fokus untuk menghasilkan berita yang 'menarik' saja. Hal itu berimbas kepada wartawan profesional yang tak jarang mendapat tuntutan untuk menyajikan berita yang isinya hanyalah sensasi semata. Padahal, masih ada tugas lebih penting yang harus dilakukan oleh para wartawan. Mereka berkewajiban untuk menyampaikan berita aktual secara rutin kepada masyarakat yang mana berita tersebut seharusnya berisi informasi yang berkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan publik.
Kompetisi dalam Pemberitaan
Adanya semacam kompetisi untuk menyajikan berita dengan cepat dan paling menarik membuat wartawan kerap abai terhadap isu publik yang lebih penting untuk diberitakan, salah satunya mengenai kelompok marginal. Karena merupakan kelompok terpinggirkan, isu-isu yang berkaitan dengan kelompok marginal juga sering kali tidak diangkat karena dianggap kurang penting. Riset Index Media Inklusif yang dilakukan Remotivi pada tahun 2020 lalu membenarkan permasalahan tersebut.
Dalam riset tersebut diukur kerja jurnalisme dan media dalam memberitakan isu inklusivitas dan kelompok marginal. Hasilnya menunjukkan bahwa isu dan kelompok marginal lebih sering ditempatkan dalam situasi yang kontroversial dan cenderung mengandung masalah. Kelompok marginal akan dilibatkan apabila isu terkait dinilai dapat menimbulkan sensasi. Bahkan dalam pemberitaannya, narasumber yang dipilih lebih banyak berasal dari kelompok non-marginal yang artinya tidak langsung dari kacamata individu atau kelompok yang mengalami. Riset tadi menjadi bukti bahwa tugas wartawan untuk mencari dan menyampaikan berita demi kepentingan publik belum terlaksana dengan baik karena masih ada bagian masyarakat yang kurang diperhatikan, termasuk pada cara pemberitaannya.
Mengingat Kembali Tugas Wartawan
Situasi di atas perlu dibenahi dan salah satu langkahnya adalah dengan memahami kembali: apa yang harus dilakukan oleh seorang wartawan untuk masyarakat? Bila dilihat melalui konsep jurnalisme publik, posisi wartawan adalah sebagai jembatan antara pemerintah dengan masyarakat. Jembatan yang berperan melaporkan semua permasalahan dalam publik yang penting untuk diangkat secara tanpa terkecuali agar pemerintah mau memberikan perhatiannya kepada permasalahan tersebut. Apabila isu kelompok marginal lebih sering disuarakan tidak hanya dalam situasi kontroversial saja, maka dapat semakin meningkatkan kemungkinan pemerintah untuk melakukan aksi nyata terhadap isu tersebut karena terdapat desakan dari wartawan dan masyarakat.
Jurnalisme publik juga melihat peran wartawan sebagai subjek, sedangkan pemerintah dan masyarakat sebagai objek. Wartawan seharusnya memiliki kemampuan untuk melihat dan menggali permasalahan yang ada pada masyarakat untuk disuarakan. Begitu pula ketika pemerintah menciptakan kondisi yang berdampak negatif pada masyarakat, maka wartawan bertugas untuk menggali lebih dalam kemudian menyampaikannya pada publik.
Melaporkan berita yang berkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat, termasuk di dalamnya kelompok marginal, pada dasarnya memang merupakan salah satu bentuk tanggung jawab sosial seorang wartawan. Tanggung jawab sosial merujuk pada kewajiban yang harus dipenuhi atas kebebasan yang dimiliki sehingga meminimalkan terjadinya penyalahgunaan kebebasan tersebut.
Wartawan memiliki kekuasaan lebih untuk mencari informasi yang mereka inginkan, menggali lebih dalam informasi tersebut, dan menentukan bagaimana penyajian temuan mereka pada masyarakat. Bersamaan dengan hal itu, wartawan berkewajiban untuk menyampaikan berita yang aktual, menyuarakan kondisi nyata yang terjadi dalam masyarakat secara menyeluruh. Dengan begitu, barulah dapat dikatakan bahwa seorang wartawan berhasil menuntaskan tanggung jawab sosialnya.
Ruang Aman untuk Kelompok Marginal
Penerapan jurnalisme publik dapat dikatakan sejalan dengan prinsip tanggung jawab sosial pers. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, jurnalisme publik melihat wartawan sebagai subjek yang memiliki kemampuan untuk melihat dan menggali permasalahan dalam masyarakat untuk disuarakan. Wartawan juga memiliki tanggung jawab sosial yang dapat dilakukan salah satunya dengan membantu kelompok marginal. Penerapannya dapat melalui berbagai cara, seperti menciptakan ruang aman dalam media untuk kelompok marginal.
Bisa dimulai dengan memberitakan kelompok marginal tanpa diskriminasi dan tidak hanya mengangkat isu mereka ketika dalam situasi yang kontroversial saja. Kelompok marginal dapat ikut berpartisipasi dalam pemberitaan dengan cara menjadikan mereka sebagai narasumber utama agar publik memahami bagaimana isu terkait melalui kacamata mereka dan urgensi isu tersebut bagi kelangsungan hidup mereka. Penerapan hal-hal tersebut nantinya juga akan membantu membangun kesadaran masyarakat mengenai kelompok marginal beserta isu-isu yang mereka hadapi.
Wartawan memiliki kekuasaan lebih dibanding pihak lain dalam hal pengamatan dan pemberitaan. Maka sudah seharusnya bagi mereka untuk menggunakan secara bijak kekuasaan tersebut dengan mengamati lebih dekat permasalahan yang dimiliki kelompok marginal dan terus berusaha menyuarakannya. Secara 'perlahan, tapi pasti' pemberitaan mengenai kelompok marginal akan dapat diberi perhatian lebih oleh masyarakat sehingga tetap bertahan di tengah derasnya percepatan arus informasi dan kompetisi antar media.