Lihat ke Halaman Asli

Zone of Proximal Development

Diperbarui: 20 April 2023   07:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

"The expert in anything was once a beginner" - Helen Hayes
(Ahli dalam bidang apapun pada awalnya adalah seorang pemula)

Sebagai guru di sekolah dasar yang lekat dengan dimensi amaliah pembelajaran bersifat operasional konkret, anak-anak cukup banyak dijamu secara fisik untuk menjelaskan konsep-konsep nyata. Mereka selama enam tahun diberikan ragam pengetahuan yang belum dapat mereka pilih secara mandiri sesuai passion mereka yang relatif belum bersinggungan dengan hal-hal yang bersifat formal dalam kehidupan. Seolah menjadi hal yang tidak realistis bagi anak-anak untuk menguasai semua bidang, menyukai semua minat dan bakat, karena masing-masing dari mereka memiliki kecondongan dan kecenderungan terhadap keunikan tertentu.

Bahkan, jika kita meminjam perspektif penafsiran Al Qur'an, khususnya dalam surat An-Nur: 45 yang jelas memberikan tamsil potensi unik dari setiap makhluk, seolah menggambarkan bahwa masing-masing dari diri anak diberikan keunggulan, keahlian, kemahiran, atau kemampuan yang bisa saja tidak terdapat atau tidak berkembang pada anak yang lain. Sebuah situasi yang seringkali dibenturkan secara frontal dengan konsep menghargai perbedaan, setiap anak itu unik, atau biarkan anak berkembang sesuai minat dan bakatnya. Konsep yang terkadang tidak berbanding lurus pada kenyataan di lapangan bahwa anak-anak dihadapkan pada skema sistematis dan terstandar dalam menyelesaikan setiap indikator pembelajaran dengan baik.

"Break a leg bro!". Seolah kalimat itu didengungkan pada setiap anak. Bagi anak-anak yang berkesulitan menyerap pengetahuan, peluang untuk dapat mahir dalam bidang yang dia sukai akan sedikit sulit terwujud dalam lingkup kelas, namun di sisi lain, bagi anak-anak yang memiliki kapasitas akan menjadi "blessing in disguise". Kelas bukan ruang yang tepat untuk menempa kemahiran yang setara. Meskipun distimulus dengan pembelajaran terdiferensiasi, active learning, hingga pemanfaatan aplikasi atau media populer, tetap dirasa tidak cukup mengakomodir potensi siswa dengan jumlah yang banyak dan dalam target yang ditetapkan. Diperlukan celah yang lebih privat untuk dijadikan wahana bagi guru membidik "mutiara dalam lumpur", misalnya melalui: (1) Ruang diskusi, (2) menciptakan lingkungan yang mendukung, (3) mengajak anak untuk mencoba hal-hal baru, (4) menyediakan akses ke sumber daya yang relevan, (5) memberikan dukungan yang positif, (6) memberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler, atau (7) melibatkan siswa dalam kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan minat dan bakatnya.

Guru bukan menjadi satu-satunya orang yang dianggap lebih mahir dari siswa. Namun, dengan berbagai keterbatasan ruang dan waktu guru dapat mengambil andil besar dalam menyemai benih-benih keahlian pada diri anak-anak dengan melakukan penyajian materi yang  bervariasi, mendorong kolaborasi khususnya peer teaching, memberikan umpan balik yang tepat, senantiasa memberikan tantangan dan bimbingan dengan penyediaan waktu yang cukup.

Dalam mewujudkan hal tersebut, bukan berarti guru menghadapinya tanpa tantangan. Identifikasi potensi yang akurat, terbatasnya waktu belajar, ketersediaan sumber daya yang cukup, perbedaan gaya belajar, hingga tantangan kognitif dan sosial masih menjadi PR besar yang harus dikelola. Tapi, hati kecil ini percaya dengan perbedaan kondisi yang dialami, setiap guru sedianya mampu menciptakan peluang bagi tumbuhnya tunas-tunas potensial bagi masa depan bangsa ini yang lebih baik.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline