Tepat hari ini, 24 Oktober, Indonesia memperingati Hari Dokter Nasional yang rutin diperingati setiap tahunnya. Peringatan ini didasari atas pendirian perkumpulan dokter Indonesia, 70 tahun yang lalu, pada 24 Oktober 1950 dengan nama Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Pendirian IDI menjadi tanda semangat dokter dari seluruh Indonesia untuk meningkatkan harkat, martabat, dan kehormatan profesi kedokteran; mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran; serta meningkatkan kesehatan rakyat Indonesia untuk menuju masyarakat sehat dan sejahtera.
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, peringatan hari dokter nasional tahun ini berada dalam kemelut pandemi COVID-19 yang kian merajalela. Hadirnya pandemi COVID-19 kembali mempertegas kedudukan profesi dokter dan tenaga kesehatan lainnya di Indonesia, bahkan seluruh dunia-dalam penanganan pandemi.
Para dokter dan tenaga kesehatan menjadi pilar utama, garda terdepan, dan benteng terakhir dalam penanganan pandemi kali ini. Mereka, bersama pemerintah dan masyarakat, bersatu dalam menyehatkan bangsa sebagai upaya penanganan pandemi.
Perjuangannya di tengah besarnya arus ketidakpercayaan sebagian masyarakat terhadap keberadaan COVID-19 harus diapresiasi karena hanya merekalah yang mampu menangani dan menyehatkan bangsa di garis terdepan dengan sabar dan tanpa pernah mengenal lelah.
Dedikasi para dokter dan tenaga kesehatan tersebut mengingatkan saya pada peran mereka dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, khususnya pada medio 1900-an. Seperti yang kita ketahui, pada kurun waktu tersebut, timbul berbagai dinamika pergerakan kebangsaan di Hindia Belanda yang ditandai dengan hadirnya berbagai organisasi pergerakan.
Organisasi-organisasi tersebut muncul seiring hadirnya kaum intelektual muda sebagai akibat dari pencerahan gaya barat yang dapat mengilhami penduduk bumiputra lainnya untuk bergerak bersama menuju kehidupan yang lebih baik.
Dengan kata lain, kaum intelektual muda saat itu menjadi poros pergerakan kebangsaan yang dipandang sejarawan Indonesia masa kini berdampak pada runtuhnya dominasi kolonial. Namun, apabila kita melihat nama-nama tokoh intelektual masa pergerakan nasional, terdapat suatu hal yang menarik bahwa tidak sedikit dari mereka yang berprofesi sebagai seorang dokter.
Seorang Indonesianis ternama yang memimpin Cornell Modern Indonesia Project, George Mc Turnan Kahin, dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (1958), turut menyatakan bahwa sejumlah besar tokoh nasionalis Indonesia adalah dokter.
Pernyataan di atas memang memang dapat dibuktikan dengan melihat nama-nama tokoh nasionalis dan tidak sedikit dari mereka yang lahir dari rahim pendidikan dokter profesional di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen [Sekolah Kejuruan Dokter Hindia], sebelumnya disebut Sekolah Dokter-Djawa) atau NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School [Sekolah Kejuruan Dokter Hindia]), seperti dr. Abdul Rivai (lahir 1871; anggota Volksraad [Dewan Rakyat Hindia Belanda], 1918), dr. Wahidin Soedirohoesodo (lahir 1856; tokoh Boedi Oetomo, 1908), dr. Tjipto Mangoenkoesomo (lahir 1886; penggagas Indische Partij [Partai Hindia], 1912), dan lain sebagainya.