"Kebijakan Politik Etis atau politik balas budi akhirnya dimulai secara resmi pada tahun 1901 dan memiliki tiga program, yaitu edukasi, irigasi, dan transmigrasi."
Pada tahun 1899, terbit sebuah tulisan berjudul "Een Ereschuld (Sebuah Utang Kehormatan)" dalam majalah De Gids. Tulisan tersebut berisi kritikan Conrad Theodor van Deventer (1857--1915) terhadap pemerintah Belanda atas perlakuan dari praktik kolonialisme yang membuat masyarakat bumiputra sengsara.
Dalam tulisannya, ia berargumen bahwa pemerintah harus membalas budi atas perlakuan dari tanam paksa---oleh golongan kolonial diberi nama cultuurstelsel (1830--1870)---dan praktik ekonomi liberal yang menghasilkan keuntungan kas selama bertahun-tahun.
Atas tulisan tersebut, kaum liberal dan religius di Negeri Belanda memaksa pemerintah negeri induk melaksanakan politik balas budi atau Politik Etis. Kebijakan Politik Etis atau politik balas budi akhirnya dimulai secara resmi pada tahun 1901 dan memiliki tiga program, yaitu edukasi, irigasi, dan transmigrasi.
Usai pidato Ratu Wilhelmina pada tahun 1901 yang menandai dimulainya rentetan kebijakan etis, praktik kewajiban moral kepada rakyat Hindia Belanda ini menjadi salah satu landasan yang mendasari lahirnya berbagai kebijakan di negeri koloni.
Sejak berlakunya Politik Etis sampai dekade 1930, program yang paling menonjol dan memiliki pengaruh besar terhadap rakyat bumiputra adalah program edukasi. Di mata sejarawan Indonesia masa kini, program edukasi dinilai menjadi alat untuk meruntuhkan dominasi kolonial dan menjadi senjata untuk memberantas kolonialisme di Nusantara.
Baca juga : Manfaat Politik Etis bagi Bangsa Indonesia
Beberapa sekolah pun dibuka sebagai amanat dari program etis, mulai dari sekolah rendah hingga sekolah menengah. Pada sekolah rendah terdapat jenjang Euoropese Lagerse School (ELS) yang ditunjukan untuk anak keturunan Eropa, timur asing, atau bumiputera dai tokoh terkemuka; Hollands Chinese School (HCS) yang ditunjukan untuk anak-anak keturunan timur asing, golongan Cina; serta Hollands Inlandse School (HIS) yang diperuntukan untuk anak-anak khusus bumiputera.
Ketiga sekolah tersebut memiliki waktu pendidikan 7 tahun. Setelah menempuh pendidikan sekolah rendah, mereka memiliki opsi lanjut sekolah lagi atau bekerja. Apabila memilih untuk lanjut sekolah kembali, terdapat tiga jenis sekolah, antara lain Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang kemudian dilanjutkan ke Algemene Middelbare School (AMS) sebagai kelanjutan sekolah bagi mereka anak bumiputera dan timur asing dan Hogere Burgerschool (HBS) untuk anak Eropa dan bangsawan bumiputera. Ketiganya memiliki waktu pendidikan 3 tahun.
Singkatnya, anak bumiputera harus menempuh pendidikan di HIS-MULO-AMS dengan waktu 13 tahun. Sedangkan, anak Eropa menempuh pendidikan ELS-HBS dengan waktu 10 tahun. Dari segi waktu tempuh pendidikan, pemerintah kolonial dengan sengaja memberi waktu yang panjang untuk studi anak bumiputera.