Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Fakhriansyah

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta

Sejak Kapan Orang Sunda Gemar Melahap Lalap?

Diperbarui: 21 Maret 2022   15:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

source: nakita.grid.id

Apabila kita berkunjung ke tatar sunda pasti akan menemukan banyak rumah makan khas sunda. Sajian lauknya pun sangat beragam, terdapat ayam goreng, ikan asin hingga sayur asam. Tetapi jika diperhatikan terdapat makanan pedamping yang selalu hadir di rumah makan khas sunda, yaitu sambal dan lalap. Kedua hal tersebut adalah wajib ketika kita menikmati makanan khas sunda. Tidak afdhol rasanya apabila kita tidak menyantap sambal dan lalap.

Sunda dan budaya makan lalap memang sudah melekat dan tidak dapat dipisahkan. Bahkan terdapat guyonan bahwa apabila kita memiliki istri orang sunda maka akan sangat mudah memberi makan karena dedaunan pun ia makan. Artinya, budaya lalap itu sudah meresap ke dalam jiwa orang sunda dan menjadi identitas kesundaan. Lantas, sejak kapan budaya makan lalap ini terbentuk?

Menurut Rahman dalam Sunda dan Budaya Lalaban: Melacak Masa Lalu Budaya Makan Sunda (2018), Jejak lalap dapat dibuktikan secara arkeologis pada Prasasti Panggumulan dari Sleman, Jawa Tengah yang berasal dari 902 M atau abad ke-10 M

Pada prasasti tersebut terdapat beberapa kosakata yang menyebutkan bahan makanan dari sayuran bernama rumwah-rumwah (lalap mentah), kuluban (lalap yang direbus), dudutan (lalap mentah yang diambil dari akarnya) dan tetis (sejenis sambal). Penemuan tulisan bahan makanan pada Prasasti Panggumulan tersebut membuktikan bahwa lalap telah dikomsumsi pada abad ke-10 M. Artinya, bukti tertua dari jejak lalap dapat dilihat pada Prasasti Panggumulan.

Bahan makanan yang tercantum pada prasasti tersebut diperoleh dari tumbuhan dan tanaman yang tumbuh liar secara lokal pada perkarangan rumah, misalnya. Hingga pada akhirnya, berabad-abad kemudian, mulai masuk beragam tanaman dari penjuru dunia yang kemudian dibudidayakan dan menjadi bagian dari lalab, seperti timun, terong, wortel, kol, dan singkong.

Meski sudah terdapat bukti arkeologisnya, bukti tertulis budaya makan lalap masih terbilang buram. Hingga akhirnya penelitian lebih lanjut pada naskah sunda, yaitu Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang berasal dari abad ke-16 M dapat memberikan cukup informasi mengenai lalap dan menjadi pembenaran atas bukti pada Prasasti Panggumulan.

Dalam naskah tersebut terdapat beberapa kalimat yang menunjukan bukti atas lalab, yaitu dengan kalimat "kalingana asak deung atah" (sebenarnya hanya mentah dan masak).

Bukti pada Prasasti Panggumulan dan naskah sunda Sanghyang Siksa Kandang Karesian cukup memberitahukan bahwa sejak abad ke-10 terdapat kegemaran masyarakat menyantap lalap. Akan tetapi, timbul satu pertanyaan lagi, Mengapa orang sunda gemar menyatap lalap?

Kegemaran orang sunda menyantap lalap terjadi karena suburnya potensi vegetasi dan masih jarang tradisi gembala. Hal ini membuat tingginya komsumsi protein nabati daripada hewani dalam kebutuhan sehari-hari. Artinya, masyarakat saat itu tentu saja memanfaatkan vegetasi di sekitarnya untuk mereka makan karena yang melimpah pada saat itu hanyalah vegetasi. 

Seiring kedatangan orang-orang Eropa tentu saja berdampak kepada budaya makan masyarakat pribumi khususnya di Jawa keseluruhan. Pada awalnya budaya makan yang cenderung mengkomsunsi protein nabati mengalami perubahan ke komsumsi protein hewani. Hal ini terjadi karena orang Eropa kerap membuka hutan untuk perkebunan yang tidak hanya membawa tanaman baru tetapi turut memperkenalkan hewan pula, seperti sapi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline