Lihat ke Halaman Asli

Jamalludin Rahmat

TERVERIFIKASI

HA HU HUM

Ketika Kursi Jadi Bahasa Politik

Diperbarui: 3 Agustus 2019   10:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi memperebutkan kursi. (kompas)

"Yang paling bertanggung jawab atas keruntuhan suatu demokrasi bukanlah orang-orang biasa, melainkan perilaku elite politik."--Bermeo.

 Hingga dilantiknya Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia beserta para menterinya, panggung politik Indonesia akan terasa melelahkan untuk rakyat Indonesia. 

Surat kabar, berita online, dan berita di televisi menyuguhkan berita tentang elite partai politik dan politisi yang berkumpul di sana dan berkumpul di sini melakukan  lobi tingkat dewa untuk mendapatkan jatah kursi menteri, kursi pimpinan DPR, kursi pimpinan MPR.

Mengutip tulisan Yudi Latif di cetak.kompas.com (28/04/2009) yang berjudul "Koalisi Tunanilai,":

"Pemimpin partai sibuk bermanuver politik secara zig-zag, tanpa beban berganti-ganti posisi etis. Partai-partai yang bercorak liberal rela bersanding dengan partai-partai bercorak iliberal (pun nasionalis dengan liberal). Rujukan koalisi bukanlah titik temu dalam nilai dan visi, melainkan semata-mata berdasarkan alokasi sumber daya dan kursi. Platform yang disusun secara serabutan diajukan sekadar alat justifikasi (pembenaran)."

Apa yang dituliskan oleh Yudi Latif di atas sangatlah benar. Ketika energi para elite politik, politisi dan partai politik tercurahkan semata mengejar kursi maka yang terjadi politik tanpa kejelasan visi. 

Politik yang meriah bak pesta pora, berbiaya mahal tanpa arah ke depan yang semu kalau tak mau disebut menjemukan dan komitmen ketika kampanye untuk penyelesaian masalah-masalah mendasar rakyat Indonesia jauh panggang dari api.

Ketika kursi menjadi bahasa politik yang terkorbankan adalah rakyat yang memiliki harapan tinggi kepada pemenang pemilu (presiden dan anggota dewan) untuk tercapainya kesejahteraan rakyat. Sejatinya pemilu yang dimenangkan oleh yang terpilih merupakan kemenangan semua pihak.

Para pemenang dan para kalah memiliki perannya masing-masing, punya ruang kehormatan sendiri-sendiri. Bukankah semuanya (para pemenang dan para kalah) bekerja untuk tuan yang sama yaitu sang demos (rakyat).

Ketika kursi menjadi bahasa politik sangatlah berbahaya karena untuk pemilu berikutnya kejadian ini akan berulang-ulang. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline