Yudi Latif-intelektual Indonesia-mengungkapkan, hakikat politik yang sebenarnya adalah membuat warga negaranya berbahagia dan tujuan berpolitik, bukanlah semata meraih kekuasaan, tapi memastikan kekuasaan digunakan untuk kebajikan dan kebahagian bagi warga negara. (Tribunnews.com 22/08/2014).
Jika mengacu apa yang disampaikan oleh Yudi Latif, indikator keberhasilan politik yaitu membuat warga negara bahagia, keputusan dan kebijakan politik berujung pada kebajikan.
Indikator warga negara bahagia tak selalu soalan pembangunan fisik tapi melupakan manusianya.
Di masa Orde Baru ada motto "politik sebagai panglima" di era reformasi bergeser menjadi "hukum sebagai panglima" dan bergeser lagi menjadi "ekonomi kerakyatan sebagai panglima."
Di masa Orde Baru kestabilan di berbagai aspek bermula dari politik. Kestabilan politik adalah kunci untuk membuka 'pintu rumah' yang isi dalam rumah terdapat ekonomi, sosial, hukum, pendidikan, budaya bahkan agama.
Sesuatu yang mengancam kestabilan politik negara harus diberangus. Militeristik jadi alat pemukul bagi kaum sipil yang kritis.
Pendekatan militeristik di kritik dan di tentang secara diam dan terang. Militer diperalat Presiden ketika itu untuk kuasai segenap lini kehidupan masyarakat.
Kepemimpinan politik lelaki jantan di era Orde Baru dengan berlabel militer makan tuannya sendiri. Sang raja rubuh dipukul tinju era reformasi.
Era reformasi naik ke gelanggang dengan pemimpin baru yang dipenuhi sorak sorai penonton penuh harap akan terlaksananya "hukum sebagai panglima".
Ternyata lawan lebih hebat maka tertatih-tatih era reformasi. Lawan itu bernama korupsi, kolusi, nepotisme, ekonomi yang senjang berdampak pada laju ekonomi yang lambat tumbuh dan segudang persoalan yang menumpuk.
Era reformasi telah lewat tapi tubuh politik Indonesia saat ini masih tertatih-tatih dengan beban berat tapi bukan berarti tumbang tersungkur ke tanah. "Ekonomi kerakyatan sebagai panglima" di gaungkan sejadi-jadinya dengan menggerakkan roda perekonomian cara liberal.