Strata 1 mengenali teori, S2 memakai teori dan S3 melahirkan teori_Winarno Suryaman_
Kehormatan orang terpelajar berasal dari buku_Debita ab erudito quoque libris reverentia _Adagium Latin_
Kultur Keilmuan yang Meredup
Jujun S. Suriasumantri di bukunya "Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer" halaman 321 menuliskan "pendidikan pascasarjana ditujukan untuk mengembangkan pengetahuan bukan saja secara horisontal dalam bentuk akumulasi pengetahuan yang bersifat teknis namun sekaligus pengembangan pengetahuan secara vertikal dalam bentuk analisis, yang bersifat filsafati."
Lama saya tercenung melihat kalimat yang dituliskan oleh Jujun S. Suriasumantri itu lalu saya coba menggali maknanya. Kemudian saya terhenyak lagi ketika membalik halaman selanjutnya di catatan kaki (footnote). Di situ dituliskan, "dewasa ini pendidikan yang dikembangkan adalah memberikan ilmu sebanyak-banyaknya bukan memberikan ilmu yang sedalam-dalamnya."
Artinya, keilmuan melebar dalam kedangkalan wacana tapi tak mendalam pada isi. Kalimat di atas semakin menghujam pikiran saya, karena selama ini tak pernah keilmuan dengan teori-teori yang telah ada dipertanyakan ulang. Kita menjadi orang yang taken for granted, menerima dengan apa adanya tanpa bersikap kritis.
Beberapa perguruan tinggi keagamaan Islam negeri atau swasta strata satu (S 1) dengan masing-masing fakultas dan jurusan/program studi menjadi gamang dengan keilmuannya bahkan strata dua (S 2) dan strata tiga (S 3) sedikit memunculkan teori yang berbobot. Belum lagi jika bicara tentang tradisi keiilmuan; berapa orangkah dosen yang memiliki spesialis dalam ilmunya, tradisi diskusi yang melemah, membaca yang kurang diminati. Di kalangan mahasiswa budaya baca tulis yang masih rendah.
Belum lagi berbicara tentang para doktor dan profesor yang belum mampu membangun kultur akademik keilmuan di tingkat akar rumput (mahasiswa), keilmuan tak berjejak, bersuara nyaring di ruangan lokal ketika mengajar, sedikit diapresiasi khalayak ramai, apalagi di apresiasi di tengah keramaian kos-kos an mahasiswa.
Kultur keilmuan dengan perangkatnya hanyalah pemanis bibir belaka sehingga keilmuan statis, jalan ditempat, perpustakaan hanya semata tempat pinjam buku oleh mahaiswa ketika membuat makalah belum menjadi tempat literasi yang penuh huru hara diskusi.
Konsorsium keilmuan hanya pajangan dan akan sibuk ketika membuat buku referensi/modul padahal konsorsium keilmuan dibentuk untuk terhubungnya perguruan tinggi dengan masyarakat berdasarkan tri dharma ( penelitian, pengajaran dan pengabdian) dan memunculkan dosen-dosen peneliti yang bertitik tolak dari latar keilmuan masing-masing.
Ilmu adalah pembeda antara manusia dan makhluk lainnya. dengan ilmu hal-hal yang sukar menjadi mudah. Kajian atas keilmuan yang dimiliki sangat kurang, aspek restrukturisasi kultur keilmuan dengan menggiatkan diskusi, membaca, menulis dalam berbagai tingkatan berjalan tersendat sehingga berharap terjadinya diskusi di ruang kelas maupun di luar kelas oleh mahasiswa sulit terjadi karena dosen sendiri dalam ruang lingkupnya saja jarang berdiskusi.