Lihat ke Halaman Asli

Puasa dan Transformasi

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi umat beragama, puasa merupakan ritual yang rutin dilakukan. Umat Islam diwajibkan berpuasa selama bulan Ramadhan untuk mencapai derajat taqwa. Satu bulan puasa adalah merupakan latihan yang menghidupkan faktor internal (spiritual) dan mengurangi faktor external (makan, minum, hiburan, materi, dsb.). Selama bulan puasa terjadi perubahan kebiasaan yang merupakan dasar bagi transformasi diri. Setiap individu dituntut dan dimotivasi untuk fokus kepada hal-hal yang sangat penting dan nyata (visi, misi dan amal shaleh/eksekusi).

Sementara banyak perusahaan berbicara tentang transformasi, apakah yang sebenarnya dimaksud dengan transformasi? Apakah hasil transformasi perusahaan adalah sekedar perubahan struktur organisasi? Ataukah targetnya jauh lebih dalam lagi, yaitu perubahan mindset dan perilaku individu dan organisasi?

Shaum dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi puasa. Shaum adalah perintah yang juga sudah diberikan kepada nabi – nabi sebelum nabi Muhammad SAW, karena agama memang terus menerus mengajak manusia untuk bertransformasi agar siap menghadapi tantangan zaman yang selalu berubah bentuk. Organisme yang mampu survive bukanlah yang paling kuat, tetapi yang paling mampu beradaptasi terhadap keseimbangan alam yang bersifat dinamis, tidak statis. Puasa diambil dari kata upawasa (sanksekerta), dimana upawasa mengandung arti‘mendekatkan diri kepada Maha Pencipta’. Lantas bagaimana hubungan puasa dengan perubahan?

Ilmuwan-ilmuwan fisika quantum dan noetic science banyak melakukan explorasi internal diri manusia. Banyak pertanyaan seputar tubuh manusia, seperti misalkan kenapa sel dan jaringan tubuh bisa terorganisir dengan rapi dengan organisasi yang memiliki kemampuan desentralisasi. Dimanakah letak kesadaran sel? Jawabanya mengarah bahwa sel-sel tersebut (materi fisik) ternyata dikendalikan oleh medan kesadaran spiritual yang diantarai oleh mind (dikenal juga dengan istilah mind-body-spirit). Perubahan kebiasan yang dilakukan selama berpuasa lebih kurang 30 hari berturut-turut tentunya juga mengubah ketiga faktor tersebut.

Perubahan pola materi yang dimasukkan ke dalam tubuh (makanan/minuman) tentunya mengubah pola kerja hormon/kelanjar dan perangkat-perangkat lain di tubuh.Dengan energi dari luar yang lebih sedikit masuk ke tubuh maka otak tidak mampu berlama-lama dalam fase gelombang Beta (fase ‘sadar penuh’, mudah marah, gelisah, terburu-buru, dsb). Dalam keadaan puasa, otakberusaha mencari keseimbangan homeostatis baru dengan bergeser-geser ke gelombang Alpha, Theta & Delta. Kemampuan menangkap informasi di Alpha, Theta & Delta lebih akurat daripada di kondisi Beta, dan inilah yang diistilahkan oleh Malcolm Gladwell dengan Blink (berpikir tanpa berpikir). Dengan demikian maka terjadi upgrade otak dan system saraf yang menghasilkan kecerdasan holistic. Apalagi jika puasa tersebut dilakukan secara masal di saat yang sama, maka gelombang otak antar individu yang saling berinterferensi akan memberikan hasil yang luar biasa. Munculnya kecerdasan inilah yang menjadi modal untuk menjadi manusia unggul. Makanya Al Qur’an menyebutkan diwajibkan berpuasa agar menjadi orang yang taqwa (menjadi no 1), dimana ciri-ciri taqwa a.l adalah kemampuan mengendalikan diri (menahan marah, memberi maaf), kemampuan berbagi rizki, dan selalu optimis karena berorientasi / berpusat kepada yang Maha Kuasa.

Namun muncul pertanyaan lagi, kenapa kok puasa Ramadhan rutin dilakukan setiap tahun tetapi masyarakat ataupun organisasi masih belum banyak kemajuan dalam menuju yang lebih baik? Tentunya kita bisa menduga-duga bahwa mungkin dalam menjalankan ibadah puasa masih kurang menangkap maknanya, dan yang paling mungkin adalah setelah bulan puasa kembali kepada kebiasaan sebelum puasa. Akibatnya otak dan sistem syaraf yang sudah terupgrade tadi kembali downgrade ke kondisi sebelum puasa. Otak kembali didominasi oleh gelombang Beta, sibuk dengan menghitung angka-angka tapi tidak memiliki keyakinan mau ke mana arah yang dituju. Bahkan banyak organisasi untuk menentukan arahnya butuh arahan dari konsultan luar. Padahal seharusnya arah tujuan adalah berasal dari internal kita karena berdasarkan keyakinan kita terhadap visi. Peran pihak luar adalah memberi masukan opsi-opsi strategi, atau cara yang dipilih berdasarakan beberapa scenario industri.

Untuk itu, jika perusahaan ingin bertransformasi maka perlu disusun program-program yang menindaklanjuti hasil puasa Ramadhan, agar otak dan syaraf yang sudah terupgrade dapat dijaga konsistensinya supaya tidak terdowngrade lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline