Lihat ke Halaman Asli

Fajrin Haerudin

Pecinta Kopi

Liga Korupsi Indonesia

Diperbarui: 9 April 2021   03:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tarik nafas dan telan ludahmu para anak negara, seruput kopimu selagi bisa dan kita mulai jeritan derita.

Jiwasraya 13,7 triliun...
Asabri 10 triliun...
Bank Century 8 triliun...
Pelindo (II) 6 triliun...
Bupati KALTIM 5,8 triliun...
BLBI 4,5 triliun...
E-KTP 2,3 triliun...

Ini baru klasemen sementara yang mengarungi misteri negara. Kritikan sekejap lenyap oleh buzeRP kekuasaan, jangan memaksa untuk menyangkal atau kau akan dibantai alat negara, Katanya Pancasilais tapi terpampang militeristis ala komunis.

Jama'ah tabligh dan teroris hanya bahan candaan pemerintah, menjadi brand baru pengalihan isu negara. Secuil istilah kemanusiaan nyaris tak bernafas pada rongga-rongga moral kebijakan, tragisnya enam nyawa dibantai sia-sia seperti warga negara dilubang-lubang darah sejarah. Ideologi negara bukan lagi Pancasila, sebab kebohongan sudah mutlak dikiblati para ideologiman.

Aparat harusnya menggotong, merangkul, dan membawa pelaku atas kejahatan apapun ke pengadilan, tapi ganasnya intaian menyisahkan ceceran darah pembantaian para syuhada. Fakta tanpa perintah diakui pelaku yang padahal intai itu tugas, inilah Negeri dengan seribu dongeng keadilan, dan inilah Negeri dimana kenyataan lebih kuasa dari pernyataan. Sedang para elit Aparat sibuk menggila bersama si kuasa. Berdongenglah sendiri atas keadilan sembari berandai agar para jahanam mendekam di panasnya neraka.

Viral disetiap sudut beranda media, Stafsus presiden 'Belva Devara' mengundurkan diri setelah mendapat proyek ruang guru yang melimpah, rakyat menjerit dibalik dinamika mitra kartu prakerja dengan nilai proyek 5,6 triliun itu biasa. Demokrasi sebagai kekuatan rakyat terkalahkan cerdiknya praktik oligarki yang dipelopori oleh kepala negara.

Kebiadaban atas kuasa dipertontonkan, moral rakyat dibungkam dengan secarik kertas bualan. Lembaga peradilan didirikan untuk mengisi kegilaan, utopis katanya padahal ulititarian, benar dan tidaknya entahlah. Resisten dikambinghitamkan, sedang kebiadaban dipertontonkan.

Dana BANSOS yang sedang mencari posisi keadilan telah membusuk di kerandang mayat kekuasaan. Dalihnya, kabinet diganti untuk menutupi korupsi yang melimpah, tapi tarian erotis si Risma dengan cipta tragedi dramatisnya bersama pemulung dahulu tertancap pisau kritis para pemerhati bangsa. Meme tetek bengek si nenek berkeliaran, sungguh hiburan ditengah merajalelanya bencana kelaparan.

Benar ucap bang Syarif Ahmad, politisi tidak pernah hirau akan kualitas, integritas dan tas-tas lainnya kecuali isi tas.

Kota Bima, 20 Januari 2021
Fajrin Haerudin




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline