Pada hari Kamis 22 Oktober 2020 kemarin, Presiden Jokowi hadir di Kendari Sulawesi Tenggara (bukan Sulteng/Sulawesi Tengah) meresmikan sebuah jembatan dengan bentang kurang lebih 1,3 KM.
Tiba-tiba sosial media menjadi heboh dengan namanya yang baru yakni Jembatan Teluk Kendari, padahal jembatan yang dimulai di era Nur Alam yang dijebloskan di Lapas Sukamiskin, nama sebelumnya Jembatan Bahteramas.
Hal ganti mengganti nama bukanlah hal baru di dunia ini, saat kekuasaan berganti, penguasa baru selalu ingin merubah legacy pendahulunya.
Contoh kecil, dalam Keppres Keppres Nomor 4 Tahun 1984 tentang Badan Pengelola Gelanggang Olahraga Senayan, rezim Soeharto merubah nama Gelora Bung Karno menjadi Istora Senayan, barulah ketika rezim Soeharto diturunkan, namanya dikembalikan.
Saat ini, generasi penerus Nur Alam yakni Radhan Algindo Nur Alam sedang disiapkan untuk melanjutkan estafet politik kedua orang tuanya. Nur Alam dan istrinya Tina Nur Alam yang adalah Anggota DPR Pusat Nasdem 2018-2023.
Bisa jadi suatu saat beberapa tahun ke depan ia memimpin, ia juga akan berjuang mengembalikan nama Bahteramas yang merupakan sisa-sisa legacy orang tuanya.
Namun, di balik cerita kemegahan jembatan Teluk Kendari Ali Mazi ataupun Jembatan Nur Alam Bahteramas, ada Papalimbang atau penyeberangan perahu tempel atau di Kendari dikenal dengan nama Papalimbang yang tergerus oleh zaman dengan kemegahan sang jembatan.
Sejak puluhan tahun silam, Papalimbang mencari nafkah lewat jasa menyeberangkan penumpang dari Lapulu ke Kota Lama. Kini cerita Papalimbang akan berbeda dengan kehadiran sang jembatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H