Menjadi anak tunggal bukan hanya soal menjadi satu-satunya penerus harapan, tetapi juga beban tak terlihat yang harus dipikul sendiri tanpa pilihan.
Orang-orang di sekitar mereka, mungkin melihatnya sebagai keistimewaan, karena segalanya seolah-olah tercurahkan padanya, perhatian, kasih sayang, bahkan ekspektasi. Namun, di balik itu, ada aturan tak tertulis yang harus dipatuhi: anak tunggal dilarang menangis, apalagi mengeluh.
Mereka sering dianggap kuat, tak boleh mengeluh, apalagi menunjukkan sisi rapuh. Kehidupan sosial menanamkan anggapan bahwa tangis adalah tanda kelemahan, dan kelelahan adalah hal yang seharusnya tak dirasakan oleh mereka yang 'diistimewakan'.
Tetapi, siapa yang sebenarnya mendengarkan suara batin mereka? Di mana tempat untuk sekadar merasa lelah, tanpa disalahpahami?
Di balik senyum yang dipaksakan dan tawa yang terdengar keras, ada saat-saat sunyi di mana kesendirian menampar lebih keras daripada beban harapan.
Anak tunggal dituntut harus menyelesaikan banyak hal sendiri, menjadi dewasa lebih cepat dari yang seharusnya. Namun, tak pernah ada ruang bagi mereka untuk sekadar berhenti sejenak, apalagi menangis. Mereka dituntut menjadi tangguh, karena tak ada yang lain untuk diandalkan.
Namun, benarkah air mata adalah musuh? Benarkah kelelahan adalah dosa? Pada akhirnya, anak tunggal pun tetap manusia.
Mereka berhak merasa lelah, berhak untuk sesekali mengeluh, karena kekuatan sejati bukanlah kemampuan untuk terus-menerus bertahan tanpa jeda, melainkan kebijaksanaan untuk mengerti kapan harus berhenti, kapan harus membiarkan hati bernapas.
Menangislah, jika perlu. Rasakan lah kelelahan itu, karena di dalamnya ada pelajaran penting: bahwa dirimu berharga bukan karena kamu selalu kuat, melainkan karena kamu punya keberanian untuk mengakui bahwa kadang, kamu juga lelah.
Penulis: Beju, Gorontalo (21/10/2024)