Peran pemerintah daerah dalam pembangunan tidak hanya terbatas pada bidang infrastruktur dan ekonomi, tetapi juga meliputi aspek kebudayaan, termasuk menjaga dan melestarikan kearifan lokal.
Kearifan lokal seperti Karawo, bordir khas Gorontalo, merupakan salah satu warisan budaya yang memiliki nilai tinggi, baik dari segi seni, ekonomi, maupun identitas daerah.
Dalam konteks ini, pemerintah daerah memiliki tanggung jawab penting untuk memperhatikan Karawo, agar tradisi yang diwariskan secara turun-temurun ini tidak hilang atau tergerus oleh modernisasi.
Apalagi kita telah menetapkan Hari Batik Nasional yang dirayakan setiap 2 Oktober, sebagai bentuk penghargaan atas budaya batik Indonesia yang kaya.
Pertanyaannya adalah, bagaimana dengan kondisi Karawo, kain bordir khas Gorontalo? Apakah Karawo mendapatkan perhatian yang sama?
Kondisi Karawo Saat Ini
Meskipun Karawo memiliki nilai seni dan budaya yang tak kalah tinggi dari Batik, kenyataannya popularitas Karawo masih belum sebanding. Karawo masih cenderung dikenal di tingkat lokal atau regional dan belum banyak menembus pasar nasional, apalagi internasional. Faktor-faktor seperti keterbatasan promosi, rendahnya kesadaran publik, serta kurangnya akses pasar bagi pengrajin menjadi kendala utama dalam pengembangan Karawo.
Selain itu, proses pembuatan Karawo yang sangat rumit dan memakan waktu karena dikerjakan secara manual dengan teknik bordir tangan membuat produk ini lebih eksklusif dan memiliki harga yang relatif lebih tinggi dibandingkan kain tradisional lain. Kondisi ini mempersempit pangsa pasar Karawo, sehingga tidak banyak masyarakat yang memilih produk ini untuk pemakaian sehari-hari atau di acara formal.
Di sisi lain, pengrajin Karawo juga masih menghadapi tantangan dalam hal regenerasi. Sebagian besar pengrajin adalah generasi tua, dan minat generasi muda untuk belajar dan melanjutkan tradisi ini masih rendah. Tanpa intervensi yang kuat, keberlangsungan Karawo bisa terancam.
Tantangan dan Peluang