Di tepian takdir, aku berdiri, memandang cinta yang tak pernah sepenuhnya menjadi milikku. Seperti ombak yang selalu datang menghampiri pasir namun tak pernah tinggal.
Perasaan ini datang dan pergi, menyisakan jejak yang cepat hilang tersapu waktu. Cinta itu ada, begitu nyata, tapi seolah ditakdirkan untuk hanya kulihat dari kejauhan, tak pernah benar-benar ku genggam.
Aku mencintainya, seperti angin yang tak terlihat tapi selalu terasa. Namun, ada garis yang membatasi, sebuah ruang takdir yang tak boleh ku sentuh. Dia telah memilih jalannya, bersanding dengan takdir lain yang tak ku tulis, tapi tetap kuterima dengan penuh keikhlasan. Cinta ini bukan tentang memiliki, tapi tentang menjaga; menjaga agar perasaan ini tetap suci, tak terkotori oleh ego yang ingin lebih.
Ada saatnya aku ingin merengkuhnya, membawa cinta ini lebih dekat dari sekadar bayangan. Tapi aku tahu, di tepian ini, aku hanya bisa menjaga. Menjaga agar takdir tetap berjalan sesuai jalurnya, meskipun hati ingin memberontak. Cinta yang sejati tidak mengganggu jalan hidup yang sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa.
Di sini, di tepian takdir, aku menyaksikan cinta dalam bentuk paling agung, menghormati pilihan, melepaskan keinginan, dan menjaga perasaan tanpa harus mengusik kebahagiaan yang telah terbangun. Cinta ini adalah tentang pengorbanan yang tak terlihat, tentang menahan diri ketika hati ingin lebih, dan tentang menjaga keindahan perasaan meskipun takdir tak berpihak.
Dan pada akhirnya aku sadar, meskipun aku berdiri di pinggiran, aku tetap mencintainya. Di tepian takdir ini, aku menjaga cinta dengan segala keikhlasan, meski hanya sebagai pengagum dari jauh.
Penulis: Fajrin Bilontalo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H