Lihat ke Halaman Asli

Fajrina Nuri Zahrah Supriyadi

Mahasiswa Administrasi Publik Universitas Airlangga

Kontroversi Pendidikan Tersier

Diperbarui: 13 Juni 2024   09:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Beberapa minggu yang lalu, dunia pendidikan Indonesia diguncangkan dengan berita kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang sangat drastis. Sebagian besar Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia menaikkan UKT dengan caranya masing-masing, yaitu dengan menambah golongan, menaikkan nominal, dan ada juga yang menambahkan uang pangkal di jalur mandiri yang sebelumnya tanpa uang pangkal.

Huru-hara UKT ini semakin memburuk saat warga Indonesia melayangkan protes dan direspons oleh pihak Kemendikbud dengan kalimat yang kontroversial. Prof. Tjitjik Srie Tjahjandarie, Plt Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kemendikbudristek, di wawancaranya menjawab protes dari masyarakat dengan mengatakan bahwa pendidikan tinggi itu tidak wajib dan termasuk tertiary education atau pendidikan tersier.

Kalimat yang dilontarkan oleh Prof. Tjitjik tersebut menuai banyak kritikan dari warga Indonesia, utamanya mahasiswa baru yang masuk di 2024 ini. Beliau dinilai tidak profesional sebagai seorang akademisi yang seolah-olah melarang masyarakat kurang mampu untuk berkuliah.

Pada kesempatan yang lain, saya menemukan sebuah video di media sosial. Seorang warganet mengunggah pendapatnya mengenai pernyataan yang dikeluarkan oleh dosen Unair tersebut. Pada videonya, ia menjelaskan kalimat "pendidikan tersier" dengan sudut pandang yang berbeda.

Pendidikan Tersier

Secara teori, pendidikan tinggi memang diklasifikasikan pada pendidikan tersier atau tertiary education. Segala jenis pendidikan tinggi, termasuk S1, dikategorikan sebagai pendidikan tersier. Pada dasarnya, penyebutan ini sudah benar, seperti yang dikatakan oleh Prof. Tjitjik dalam wawancaranya.

Namun, kesalahan pemahaman dari kebanyakan orang menganggap bahwa kata "tersier" dalam "pendidikan tersier" merupakan sesuatu yang mewah, sama seperti "tersier" dalam "kebutuhan tersier". Hal inilah yang menyebabkan ramai kritikan ditujukan kepada dosen Unair tersebut. Kalimat kontroversial yang beliau ucapkan ditangkap dengan maksud dan arti yang berbeda oleh masyarakat.

Apabila kita merujuk kata "tersier" pada ranah kebutuhan yang terletak pada tingkat ketiga setelah primer dan sekunder, memang benar bahwa tersier diartikan sebagai barang atau sesuatu yang mewah, di mana kata mewah identik dengan masyarakat ekonomi menengah hingga ekonomi atas. Namun, lain halnya dengan kata tersier pada ranah pendidikan. Dalam hal ini, tersier tidak diartikan sebagai sesuatu yang mewah, namun hanya sebuah klasifikasi pada lingkup pendidikan.

Pembelaan Belaka

Kritikan yang diutarakan oleh warga Indonesia terhadap isu kenaikan UKT ini, diharapkan dapat meredam sejenak isu ini, supaya pemerintah dapat memikirkan kembali bahwa keputusan ini ditentang dan sangat merugikan masyarakat.

Di balik benarnya penggunaan kalimat pendidikan tersier oleh Prof. Tjitjik saat wawancara, terdapat penggunaan tata bahasa yang seharusnya tidak digunakan oleh beliau saat wawancara. Sebagai seorang akademisi, sebaiknya tidak menggunakan kalimat yang akan menimbulkan persepsi berbeda bagi orang awam. Ada baiknya, akademisi menggunakan kalimat yang lebih sederhana sehingga isu tidak semakin memanas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline